Jumat, 23 November 2018

Roller Coaster Kehidupan

Belakangan, jalanin kehidupan makin berasa seperti naik roller coaster. Naik-turun. Tiap hari. Untungnya ada jeda (baca: sewaktu tidur). Dulu, nggak bisa tidur kalau sesuatu belum benar-benar selesai. Iya, overthinking itu melelahkan. Sangat. Merepotkan? Banget. Menyedihkan? Iyaaa!

Kadang, bahkan seringnya saya iri dengan teman-teman yang tak acuh terhadap suatu hal, padahal hal tersebut melibatkannya. Kok bisa santai? Oh, bukan-bukan. Bukan santai, tapi semacam lepas tangan, atau berpangku tangan. Alias nggak mau tahu. Salut campur heran. Saya jadi mau tahu resepnya. Syukur-syukur kalau diajarin praktik "nggak pedulian". Jadi, gimana resep dan caranya, Teman-teman?

Saya balasin chat pun perlu mood yang bagus, kalau pesannya mengindikasikan sesuatu yang negatif (baca: kabar kurang menyenangkan).

Atau mood statis (baca: mati rasa). Kalau kabar bagus ya biasa aja. Kabar nggak bagus pun demikian. Tanpa ekspresi. Tanpa ekspektasi. Dan tidak menebak bagaimana sesuatu itu pada akhirnya: kabar bagus yang tidak membebani, atau kabar buruk yang makin bikin cuma pengin di rumah dan nggak buka media sosial.

Yang terakhir, mood buruk. Yang lebih baik pesannya diendapkan dulu (baca: nggak usah langsung dibalas, beberapa jam atau hari kemudian). Mengapa? Demi tidak menggores hati. Sebab, via teks mudah menimbulkan kesalahpahaman karena pesan tersebut tak bernada. Nggak tahu, nada yang sebetulnya itu gimana.

Sebetulnya saya nggak suka chatting. Kenapa? Toxic! Candu juga! Kalau obrolannya seru, susah berhenti, huhu. Sangat meracuni, huhu. Selain itu, sebetulnya, daripada digunakan untuk chit-chat sana-sini buat haha-hihi, lebih baik saya alihkan untuk mengerjakan sesuatu (baca: tugas dan tanggungan lain).

Menulis perkembangan diri misalnya. Mm, maksudnya, nulis jurnal atau diari. Fungsinya? Untuk mengetahui perkembangan emosi diri. Emosi itu bukan cuma marah, tapi juga senang, sedih, dan selainnya.

Yang mana tulisan itu bisa dibaca sewaktu-waktu. Bahkan bisa bikin ketawa karena ternyata pernah mengalami ini dan respons saya begini, dan sebagainya.

Alasan lain, yang paling mendasar kenapa saya nggak suka chatting adalah...

"Pegang hp seperlunya. Bukan setiap saat. Chatting seperlunya. Bukan semaunya."

Begitu pesan kedua orang tua saya. Yang makin ke sini saya main mengiakan, bahwa hampir semua perkataan mereka benar. Sebab mereka sudah puluhan tahun menjalani kehidupan, sedangkan saya baru berusia setengah dari umur mereka.

Yang ternyata semua itu memang melelahkan. Lelah harus menyediakan energi dan mood bagus untuk menghadapi banyak orang, sedangkan untuk isi ulang energi dan mood tidak semudah membalik telapak tangan.

Dulu, sulit jika diminta untuk tidur siang. Sekarang, sangat merindukan tidur siang. Ya, kan?

Begitu pun kalau ngobrol sama teman dekat atau orang lain. Saya sebetulnya sarkas. Baik dari segi lisan maupun tulisan. Itulah kenapa kalau mood saya buruk, atau habis dibikin jengkel sama orang, bukannya tenang, malah makin nyolot.

Tenang, saya nggak tinggal diam kok. Saya berusaha untuk mengendalikan diri lagi. Introspeksi terus-menerus. Mencari-cari bagian mana yang perlu diubah, dihilangkan, ditambah, ataupun bertahan.

Jadi, untuk chat yang belum dibalas, saya minta maaf sebesar-besarnya. Bukan saya nggak peduli. Tapi saya peduli dengan cara saya sendiri. Meski mungkin teman-teman merasa bahwa saya abai. Tapi sebetulnya tidak begitu. Belakangan, saya juga agak sulit mengungkapkan sesuatu. Maksud hati mau nulis A, malah jatuhnya ke B. Nggak sinkron sama yang diinginkan, huhu. Sedih saya tuh.

Untuk segala kesarkasan saya baik lisan maupun tulisan, dan pesan-pesan yang belum saya balas, saya minta maaf sebesar-besarnya. Semoga dimaafkan ya🙏

Semangat melanjutkan aktivitas! Semoga segera beres, jadi bisa santai dan tidur siang (sumber: dari saya yang jarang tidur siang, kuliah pulang sore hampir setiap hari, lalu sampai rumah dibandingkan dengan anak orang lain yang kegiatannya mungkin nggak sehectic saya :v).

Ps. Kalau mau ngobrol, boleh. Silakan kirim pesan. Tapi, maaf kalau nggak langsung direspons karena banyak sekali hal yang harus dikerjakan meski saya mungkin sedang online. Sebab, harus memantau banyak grup beserta anggota dan kegiatan yang akan, sedang, maupun sudah berlangsung. Semangat semuanyaaa!

Sidoarjo, 23/11/18

Ttd
Perindu tidur siang



Kamis, 15 November 2018

Bandung Punya Cerita - Bagian Satu


Bandung Punya Cerita - Bagian Satu

Sebelum tanggal tujuh hingga dua belas November 2018.

Perjalanan dimulai dari meminta izin pada pemilik novel NTdTK, yang dipinjami buku entah sudah berapa bulan lalu, tapi baru saya baca beberapa hari lalu, huhu. Iya, manajemen waktu saya kurang baik.

Meski sangsi takut novelnya ketinggalan, tapi ingat kalau perjalanan di kereta memakan waktu dua belas jam, dan sudah mendapat izin... Akhirnya dibawa juga.

Saya dan empat teman berangkat menuju stasiun pukul dua belas siang, sebab mengantisipasi agar tidak terjebak macet. Dan sebelum itu, saya dalam kondisi sial, sulit menelan obat dan belum apa-apa, sudah mau muntah. Tapi syukurlah, sampai di stasiun, tidak terjadi apa-apa, kecuali datang yang terlalu awal. Kami menunggu cukup lama untuk boarding pass. Perasaan campur aduk menjelang keberangkatan.

Pukul setengah lima sore, kami sudah berada di dalam kereta, sudah selesai dari sibuknya menata barang bawaan yang banyak dan berat. Kami berdoa masing-masing agar selalu dalam lindungan Allah Swt.

Perjalanan dua belas jam bukan perkara mudah bagi saya, apalagi ini perdana naik kereta. Ditambah lagi dengan dua kebiasaan saya yang kadang masih mengganggu, padahal sudah menyugesti tidak akan terjadi, nyatanya beberapa bulan lalu juga terjadi :')

Syukurlah, udara di kereta ternyata tak jauh berbeda dengan udara di luar sana. Sebab, udara memengaruhi. Dan perjalanan selama dua belas jam menjadi menyenangkan sebab tidak ada indikasi jika dua hal yang menyebalkan itu akan terjadi.

Setelah memindai seisi kereta, pikiran saya mulai berkelana, melihat ke jendela yang tampaknya matahari sudah mulai tenggelam. Dan banyak pemandangan indah yang dilewatkan. Teman-teman pun mengeluhkan. Tapi, Allah Swt lebih tahu apa yang terbaik untuk hambaNya.

Makan malam cukup mengejutkan, nasi goreng ditemani telur mata sapi dan ayam goreng, juga acar, saus, mentimun, serta kerupuk. Yang membuat terkejut adalah daftar menu beserta harganya, haha. Saya baru mengeceknya setelah makan.

Malam hari, saat saya merasa perlu segera menyelesaikan novel yang dipinjam cukup lama--dan pemiliknya terus menyemangati untuk segera membaca--akhirnya memulai membaca novel Nona Teh dan Tuan Kopi. Sedikit banyak, membuat bingung. Tak sepenuhnya mudah mencerna setiap tulisan yang ada di sana. Hanya asal membaca. Padahal sudah berkonsentrasi. Tapi cukup senang, meski teriris dan agak berat untuk dibaca selama perjalanan menuju "kesenangan". Iya, saya anggap ini liburan. Dan saya sudah memutuskan dan mengesahkan--ceilah bahasanya, wkwk--untuk tidak berekspektasi apa pun, sebab, biasanya saya mengkhayalkan sesuatu sebelum menjalaninya. Tapi kali ini, tidak terlalu begitu.

Mulai mengantuk, saya memutuskan untuk menyudahi kegiatan membaca--meski tak banyak menghabiskan jumlah halaman, tapi lumayan, daripada tidak dibaca sama sekali. Tak mau ambil risiko kalau novelnya jadi lecek atau ternoda.

Entah pukul berapa, saya terbangun, lalu memutuskan untuk menyantap nasi goreng yang sengaja masih disisakan, sebab sore hari setelah masuk kereta, saya baru makan bekal tadi siang, setelah sebelumnya tidak tuntas karena merasa tak enak. Bukan makanannya yang tak enak, tapi kondisi tubuhnya.

Pagi harinya, entah tepatnya pukul berapa--sebelum pukul tujuh seingat saya--rombongan saya sudah tiba di stasiun Bandung. Kami melanjutkan perjalanan menggunakan bus menuju ke Rest Area. Syukurlah, dua hal menyebalkan itu tidak menghampiri, udara di bus cukup bersahabat. Saya merasa senang, beruntung, meski masih waswas. Rombongan saya berbenah dan sarapan di area tersebut.

Kami melanjutkan perjalanan ke Kopi Luwak Cikole. Berhenti di pelataran rumah makan kalau tak salah ingat, lalu melanjutkan perjalanan menggunakan mobil angkutan umum, yang biasa disebut len, tapi di Bandung disebut shuttle.

Selama menimba ilmu di KLC, saya mengantuk. Sangat, sangat mengantuk, dan ini fatal. Agak lama tertidur, sebentar terbangun. Saya merasa tidak mendapat apa-apa di sana. Menyedihkan. Sungguh, kantuk yang saya rasakan, rasanya sama persis dengan yang terjadi sebelum saya menghadapi UTS. Selama beberapa hari, mata saya rasanya hanya ingin terpejam. Kantuk dimulai dari bangun tidur sampai menjelang tidur. Sejujurnya, mata tidak kuat membuka. Dan saya mati-matian berusaha agar tetap melek dan sadar. Dan saya tidak tahu, saya kenapa hingga detik ini. Tapi, semasa UTS, alhamdulillah, sudah melek dan sadar. Saya khawatir jika itu terjadi lagi hari ini(8/11). Dan benar-benar terjadi. Saya kalah terhadap diri sendiri. Mengerikan.

Di KLC, kami mendapat segelas kopi, yang bisa diseduh sendiri. Saya tak ikut mencicipi, takut lambung tak bisa diajak kompromi, dan saya juga tidak suka kopi. Lebih suka minum air putih. O ya ampun, kenapa saya kebanyakan curhat, haha.

Setelah dari KLC, kami kembali ke pemberhentian bus tadi. Kami melangsungkan makan siang dengan menu lezat. Di rumah makan itu, ada pohon berdaun menjari dengan warna kekuningan, keoranyean, dan kehijauan menyerupai daun maple, yang menyenangkan dipandang. Itu bagi saya, entah kalau yang lain. Yang sederhana dan receh saja saya suka, apa lagi yang lebih? Hihi. Yaaa, curhat lagi.

Apa? Mau tahu kelanjutannya? Tunggu saja! Doakan saya segera bisa menuliskannya, ya. Saya pun tak sabar menulisnya, tapi banyak hal yang haemrus dilakukan :') terus semangatttt!


Sidoarjo, 12/11/18

Ttd,
Perindu Bandung

Minggu, 04 November 2018

NASIHAT DIRI: HIDUP INI BUKAN HANYA TENTANG KITA

Tidak ada pemberitahuan apa pun kepada siapa pun saat saya sedang di taman dan menunggu hujan. Saya sangat berharap jika hujan mampu menghapus semua keresahan, ketakutan, dan semua hal negatif yang berkumpul dalam pikir.

Sore itu, mentari masih bersinar. Cahayanya memberikan kehangatan meski angin berembus cukup sering dan menerbangkan debu hingga mengusik mata. Kelimpanan.

Saya menunduk sambil mengusap-usap mata, berharap debu yang singgah akan hilang, pun dengan rasa gatal yang bersemayam. Dalam hati mengeluh sambil kecewa, belum hujan juga hingga hari ini.

Ada yang mau melanjutkan  ceritanya?

"Kok nggak bilang kalau ke sini?"
Seketika saya menahan napas. Mata saya memelotot begitu mendengar suara seseorang. Suara itu... Itu suaramu. Suara yang terdengar amat dekat, seperti tepat di belakang saya. Saya tidak berani menoleh. Saya tidak sanggup... Saya bahkan memejamkan mata seraya berharap bahwa ini halusinasi saja.
"Masih kepikiran?"
Saya masih bungkam.
"Memangnya seseram itu wajah saya sampai kamu merem gitu? Saya tersinggung lho."
Ya Tuhan, dia benar-benar nyata, batin saya. Tak ada pilihan lain selain membuka mata dan bersikap biasa saja, meski jantung ini berdegup huru-hara. Norak memang.

Hayooo, lanjutannya apa?

"Saya kan sudah bilang, jangan dipikirkan."
Saya membantah, "Tapi..."
"Sebaik apa pun seseorang, tetap ada yang tidak suka. Setiap orang punya prinsip, selera, pola pikir, pola perilaku, dan sebagainya yang berbeda," kamu melanjutkan argumen.
Kenapa dia bisa tahu kalau saya sedang memikirkan itu sambil menunggu hujan.
"Nggak ada yang benar-benar sama. Coba bayangkan kalau semuanya sama. Nggak berwarna. Nggak ada variasinya. Monoton."
Lagi-lagi ucapanmu benar.
"Kamu tahu itu, kan?"
Saya mengangguk.

Lanjutannya apa ya?

"Hidup ini bukan hanya tentang kamu dan atau saya. Tapi semuanya. Allah. Semesta. Orangtua. Saudara. Sahabat. Teman."
Saya suka kamu yang selalu mengingatkan tanpa menghakimi.
"Kalau curhat ke siapa pun, jangan mau menang sendiri. Setidaknya kasih feedback. Kamu curhat, terus balik tanya, kamu sendiri gimana kabarnya? Ada yang mau diceritain? Cerita aja. Masa aku terus yang cerita? Aku juga pengin dengar ceritamu. Pengin tahu gimana kehidupanmu. Gitu, Ink. Jangan mau didengarkan terus, tapi maulah untuk mendengarkan."
Bagaimana? Sudah merasa tertohok?

Menohok.
Dan sejak hari itu, saya berupaya menanyakan kabar. Meski tidak ke semua teman. Dari film AADC dan beberapa novel yang saya baca itulah yang menyadarkan saya bahwa mendengar cerita orang lain juga perlu. Bukan untuk menghakimi, tapi untuk menyemangati. Bukan untuk menyebarluaskan lalu mencemooh dan menertawakan di belakang, tapi untuk mendukung, barangkali dia sudah terlalu lelah menyimpannya sendiri. Bahwa sesuatu yang terlalu banyak disimpan sendiri dan membebani diri, lama-lama juga akan meledak. Dan jika ledakan itu negatif, nyawa pun terancam.
Apakah Anda juga berpikir sejauh itu? Tentang nyawa seseorang. Seseorang yang dekat dengan Anda. Bukan hanya tentang nyawa Anda.

Yuk, peduli pada sesama. Jangan mudah memberikan stempel/cap pada orang lain saat mereka baru sekali-dua kali lalai. Jangan mudah menghakimi. Jangan mudah iri dengki. Tapi terus mendukung. Terus menyemangati. Percaya bahwa semua usaha akan membuahkan hasil, meski mungkin kita tak ikut menikmati kesuksesan orang lain yang dulunya selalu meminta pendapat kita. Selalu lah ingat bahwa Allah tidak tidur. Dia berkehendak untuk segalanya. Dan tidak ada yang pernah benar-benar sendiri, sebab Allah selalu mendampingi. Selamat malam😊
Kalau mau komen, silakan. Saya lebih senang dapat komen daripada didiemin. Apalagi kalau komennya membangun💜

O ya, seperti ketika orang terdekat Anda yang berpembawaan ceria, banyak dan sering bercerita, lalu mendadak murung, sedikit bicara, atau bahkan tidak mengucap satu kata pun. Apakah Anda tidak curiga? Apakah tidak tergerak untuk bertanya?
Kalau jawabnya tidak, wah, sayang sekali. Padahal bukan cuma Anda yang butuh dia, tapi sebaliknya juga: dia butuh Anda😊


Sidoarjo, 4/11/18

Tertanda
Yang mencoba memahami dan memaknai hidup plus terima nasib, tapi tetap berusaha dan berserah diri.

Sebagian 2025

Awal tahun 2025 menjadi pembuka untuk memulai pelajaran baru, dalam rangka menambah kemampuan. Kali ini dimulai dengan mengikuti workshop pe...