Jumat, 21 Desember 2018

Bandung Punya Cerita - Bagian Empat

Memasuki bus untuk melanjutkan perjalanan lagi, saya mulai merasa kurang fit. Semakin cemas saat tenggorokan kering dan mulut terasa pahit. Nggak, dua hal menyebalkan itu  nggak boleh nyamperin saya. Nggak boleh. Nggak mau tahu gimana caranya. Akhirnya saya memilih untuk minum dalam beberapa menit sekali, sambil berharap untuk tidak buang air kecil. Saya mengubah posisi duduk berkali-kali ketika mulai merasa tidak nyaman. Berusaha tidur dan alhamdulillah, di bus yang dilengkapi bantal leher ini, saya bisa tidur dengan mudah dan sesering mungkin, wkwk. Ya, daripada melek tapi ngerepotin orang ya kan?

Begitu bus berhenti, saya berusaha segera turun. Rasanya, kedua hal menyebalkan itu mendobrak diri dan minta dikeluarkan. Yang benar saja! Akhirnya saya berjongkok di antrean toilet. Dan di sana, entah ada berapa orang yang dikalahkan oleh dua hal tersebut. Saya makin khawatir dan merasa sial. Tapi saya memejam sambil menyugesti diri: saya pasti kuat. Itulah mengapa saya pernah bilang bahwa perjalanan Sidoarjo-Bandung bukan perkara mudah.

Oke, sesi curhat sudah selesai.
Berikutnya kami antre untuk memasuki area Saung Angklung Udjo. Entah ini beruntung atau sial karena kami berkunjung malam hari, yang membuat sekitar gelap dan pemandangan tidak sejelas tadi. Tapi, di sini juga ada kios suvenir. Di sepanjang jalan untuk antre pun ada suvenir yang narik-narik saya untuk membungkusnya, wkwk. Saya harus kuat tahan godaan, haha. O ya, ada yang unik dari SAU. Bukan tiket berupa kertas atau gelang yang dipakai di tangan, tapi kami mendapatkan kalung berbentuk angklung mini. Selain itu, juga ditawarkan air mineral atau es krim. Saya pilih air mineral lah. Saya kan nggak bisa jauh darinya, wkwk. Eh, ini serius.

Kami berjalan ke gedung terbuka dengan tribun yang melingkar. Dosen pendamping kami bilang bahwa akan ada sesi bermain angkung bersama dan saya tidak sabar!

Saung Angklung Udjo sendiri ialah sanggar seni sebagai tempat pertunjukan seni, laboratorium pendidikan sekaligus sebagai objek wisata budaya khas daerah Jawa Barat dengan mengandalkan semangat gotong royong antarsesama warga desa.

SAU didirikan pada tahun 1966 oleh Udjo Ngalagena (Alm)--yang akrab dipanggil Mang Udjo--dan istrinya, Uum Sumiati. SAU berusaha mewujudkan cita-cita dan harapan Abah Udjo (Alm) yang atas kiprahnya dijuluki sebagai Legenda Angklung, yaitu Angklung sebagai seni dan identitas budaya yang membanggakan (Sinopsis Pertunjukan Bambu).

Berdasarkan lembaran sinopsis yang kami terima, pertunjukan bambu SAU ada beberapa macam. Ada demonstrasi wayang golek yang umumnya pementasan ini berlangsung lebih dari tujuh jam, yaitu pada malam hari, semalam suntuk sekitar pukul 20.00 sampai 04.00 WIB. Tak hanya itu, ada pula heleran, tari tradisional: tari topeng, angklung mini, arumba, angklung massal nusantara, dan bagian favorit saya: bermain angklung bersama.

Untuk pertama kalinya saya memegang angklung! Setelah sekian lama hanya melihatnya di televisi maupun ponsel. Nah, sekarang, kami tidak hanya memegang, tapi juga dibimbing bagaimana cara memainkan angklung. Ternyata cukup sederhana. Tangan kiri memegang tangkai kiri atas, sedangkan tangan kanan memegang pangkal kanan, lalu digerakkan, maka bambu dengan letak berongga yang ada di setiap blok akan bergeser, berbenturan, dan menghasilkan bunyi.

Eits, pertunjukan belum berakhir, tapi hujan mendadak turun dengan derasnya. Percikan air sampai terasa mengenai diri. Untungnya, di tribun ini tidak bocor--sepenglihatan saya. Namun, hujan tak mengurangi kadar keceriaan kami sambil menyaksikan pertunjukan yang ada. Terlebih, angklung orkestra. Kami bernyanyi bersama diiringi dengan angklung yang dikombinasikan dengan alat musik seperi gitar, perkusi, dan lain-lain. Bahkan di akhir pertunjukan, para pengisi pertunjukan mengajak para penonton untuk turun dari tribun dan menari bersama di depan panggung.


Sidoarjo, 07/12/18

Ttd,
Perindu Bandung



Kamis, 20 Desember 2018

Bandung Punya Cerita - Bagian Tiga

Setelah penjelajahan di Floating Market berakhir, kami melanjutkan perjalanan ke Farm House. Kami mendapatkan selembar tiket bergambar botol susu dan juga yang dalam kemasan gelas. Di sini ada spot-spot foto yang berbayar. Berhubung saya tidak ke spot tersebut dan tidak bertanya, maka saya tidak tahu berapa biaya masuknya, haha.

Di pelataran Farm House, ada beberapa kios dengan gaya unik, yang menjual beragam dagangan. Mulai dari makanan dan minuman, pernak-pernik, dan juga bunga-bunga.

Sebelum masuk, saya berfoto dengan teman sekelas, lalu lanjut dengan teman setim. Ketiga teman saya menukarkan voucher tersebut ke kedai susu berdinding putih, pun dengan pembatas untuk jalur antre dan keluar. Saya tidak menukarkan voucher, sebab tidak ingin minum susu demi menjaga kesehatan tubuh, wkwk. Alias tak mau repot dengan dua hal menyebalkan yang harus dijaga demi tidak merepotkan siapa pun, termasuk diri saya sendiri.

Memasuki Farm House, kami disambut dengan dinding dari tumbuhan, lalu beberapa bunga, juga ada air terjun mini. Kemudian ada taman, juga bangunan-bangunan besar dengan gaya arsitektur Eropa. Di area ini juga ada banyak kios yang bisa dikunjungi dan barangnya boleh dibawa pulang, asalkan dibayar dulu. Yaiyalah, haha.

Di area ini juga ada tempat sewa kostum khas seperti orang Eropa dengan gaun yang lebar dan mengembang. Juga ada kostum untuk laki-laki. Ada spot untuk foto juga di lantai dua yang tempatnya terbuka dan terlihat bagus. Atau bisa juga berkeliling untuk mencari spot foto yang sesuai dengan kostumnya.

Di tempat berikutnya, setelah kafe dengan eksterior bangunan yang ciamik, ada tempat bersantai juga di lantai dua. Ada beberapa pohon yang menaungi, juga tempat duduk yang biasa digunakan untuk berjemur.

Selanjutnya, ada spot yang tak kalah menarik, bangunan kecil serupa rumah dengan eksterior yang cantik untuk diabadikan dengan kamera. Di masing-masing  rumah tersebut juga ada nama, salah satunya Farmers Market--yang sayangnya saya lewatkan karena di sana ramai. Saya hanya melihat sekilas, memotretnya, lalu beralih ke lokasi lain.

Di tempat yang baru saja saya pijaki ternyata cukup tinggi. Pagar hitam memberikan batas bagi pengunjung untuk tidak melampauinya. Kecuali pengunjung tersebut ingin mengakhiri hidupnya dengan terjun bebas ke area persawahan yang dibingkai pepohonan. Jangankan terjun, melihat sekilas, bersandar di pagar pun saya merinding. Sebagaimana si overthinking sekaligus overnegativethinking, pikiran saya jelas ke mana-mana dan menjurus ke "sana". Maka, setelah merasa cukup untuk memotret, saya segera menjauh dari tapal batas. Saya masih mau hidup.



Ps. Ini masih hari petama dan perjalanan belum berakhir!
Nantikan kelanjutan ceritanya, ya!

Sidoarjo, 02/12/18

Ttd,
Perindu Bandung

Kamis, 06 Desember 2018

Cara Mengelola Rasa Iri a la Inka

Kira-kira, berapa banyak manusia yang tidak iri terhadap orang lain, ya? Mungkin jumlahnya jauh lebih kecil daripada orang-orang yang iri. Apalagi kalau rasa iri ini tidak dikelola dengan baik, tentu bisa menjadi petaka.
Lantas, bagaimana cara mengelola rasa iri, bahkan menaklukkannya?

Tak bisa saya pungkiri, meski sebetulnya enggan saya akui bahwa salah satu cita-cita saya adalah menjadi penulis dan menerbitkan banyak buku, terutama karya sendiri atau buku solo. Namun, sudah bertahun-tahun menulis--meski mungkin lamanya saya belajar menulis belum setara dengan penulis senior atau yang sudah berpengalaman--belum ada buku solo yang terbit. Mayoritas karya saya yang terbit adalah dari banyak karya orang yang dikumpulkan, lalu dibukukan. Atau lebih familier disebut sebagai buku antologi.

Beberapa tahun lalu saat penerbit-penerbit besar--berbadan hukum, atau lebih dikenal dengan sebutan penerbit mayor atau yang tidak memungut sepeser pun biaya untuk menerbitkan buku--belusukan atau menyelam di dunia oranye atau Wattpad. Kemudian banyak karya-karya yang "dipinang". Diterbitkan. Apalagi dengan label "telah dibaca sekian juta kali di wattpad", saya minder. Makin ke sini kian minder. Tambah minder lagi saat viewers atau readers, juga followers adalah ladang "laba". Yap, perusahaan mana sih yang nggak mau dapat profit? Nggak ada kan? Nah, itu, saya sudah coba beragam cara, tapi followers, readers, juga viewers saya tetap sedikit di dunia oranye. Tidak sampai 300 orang. Makin-makin minderlah saya, haha. Lalu perlahan melupakan ambisi untuk menerbitkan buku sampai sekarang, huhu. Tapi masih berharap dan berusaha juga agar bisa terwujud.

Nggak cuma di situ. Hal itu juga saya barengi dengan melamar penerbit. Yas, saya menawarkan atau mengajukan naskah sejak beberapa tahun lalu. Masa tunggu jawaban dari lamaran saya pun beragam, mulai kurang dari satu bulan sampai bertahun-tahun! Iya, untuk memperoleh konfirmasi "diterima dan akan diterbitkan atau ditolak dan tidak atau belum cocok untuk diterbitkan" bisa memakan waktu selama itu. Kudu suabaaar, huhu. Apalagi untuk calon penulis yang belum punya "nama".

Halah, kan bisa dilupain.

Apa? Dilupain kamu bilang? Masa sih, kamu bisa secepat itu lupa kalau habis menyatakan cinta tapi belum dapat jawaban apa-apa sampai segitu lamanya. Masa sih nggak kepikiran bakal dijawab gimana, atau ungkapan perasaanmu itu dianggap atau diperlakukan seperti apa...
Gimana? Bisa secepat itu melupakan? Enggak, kan? Haha.

Bahkan prinsip yang saya temukan entah di mana dan lupa: tulis, kirim, lupakan. Agaknya berpengaruh. Lumayan, nggak stress-stress amat, wkwk. Berasa melamar calon pendamping hidup beneran kan?

Jadi, gimana jawaban atas lamaranmu, Ink?

Ditolak! Entah sudah berapa kali ditolak! Terus diajuin lagi. Ditolak! Terus diajuin lagi. Kurang sabar apa saya tuh, disakiti tapi nggak kapok wkwk, meskipun galau dulu dong berhari-hari. Sambat dulu dong. Nangis dulu dong. Marah-marah dulu dong, sebelum akhirnya bisa move on! Yay! Bisa move on itu salah satu anugerah terindah lho! Apalagi dapat dukungan lagi dari teman-teman.

Lalu saya balik lagi ke diri sendiri. Mempertanyakan apa yang sempat dibulatkan dan seambisius itu. Sebetulnya, apa yang saya cari dari nerbitin buku itu? Tenar? Royalti? Sombong? Pamer? Atau apa?
Kemudian saya berkaca lagi. Menarik diri lagi. Menjauh dari segala yang saya ambisikan. Setelah sempat merasa pantas, tapi nyatanya tidak. O, bukan tidak. Mungkin hanya belum. Semua butuh waktu. Semua butuh proses. Dan saya juga tak ingin menulis omong kosong. Apalagi kalau omong kosong itu dibaca banyak orang. Bisa-bisa marah atau malah bikin dosa jariyah. Astagfirullah. Naudzubillahi mindzalik.

Nggak cuma masalah nerbitin buku. Selain di dunia perbukuan dan penerbitan itu, buanyak hal yang membuat saya iri. Contoh: teman-teman punya ini-itu baru, sedangkan saya nggak gitu. Teman-teman dapat ini-itu tanpa susah payah, sedangkan saya mesti berusaha ekstra, dan sebagainya.

Lantas, apa yang saya lakukan?

1. Menarik diri atau jaga jarak dari segala kegiatan
Sepulang kuliah, langsung pulang. Atau kalau pagi, sampai di kampusnya telat atau mepet jam masuk. Jaga jarak sama organisasi-organisasi beserta anggotanya. Pokoknya nggak banyak ketemu dan ngobrol sama orang! Tujuannya apa? Untuk mengurangi obrolan sama teman-teman yang berpotensi menyakiti hati. Apalagi saya orangnya sinis dan ketus ya kan. Yang dikhawatirkan dari ketemu sama subjek yang diiri-in ataupun teman-teman? Saya gelap mata, haha. Makanya nggak mau lama-lama, wkwk.

2. Menyendiri dan merenung
Untuk memikirkan lagi kenapa saya iri? Kenapa harus seiri ini? Kenapa harus sesakit ini? Dan hal-hal negatif dan meremehkan si subjek tadi.
Kemudian mulai berusaha berpikir jernih. Apa saya bisa seperti dia?
Untuk berkaca lagi.
Apa saya sudah pantas dengan kemauan saya yang seperti ini? Siapa yang akan mendukung saya? Saya kan nggak punya pac*r, sahabat, dan kawan-kawannya seperti dia. Terus berusaha memupuk diri untuk bertumbuh dan berkembang.

3. Kokohkan pondasi
Nggak mau dong, tenggelam dalam keterpurukan? Ya nggaklah.
Nggak mau dong, lukanya nggak segera kering? Ya nggak mau lah. Lalu, ngapain? Ya BERUSAHA dong! Berusaha yang gimana? Pertama, NIAT! Niatkan semua yang akan dilakukan adalah hanya KARENA ALLAH. Bukan untuk dipuji orang tua, pac*r, sahabat, orang yang bikin iri, dosen, gebetan, selingkuhan, dan sebagainya. Lakukan dengan tulus. Sebisa mungkin tidak berharap bahwa apa yang kita lakukan untuk orang lain, kemudian mereka akan bersedia melakukan hal yang sama seperti yang kita lakukan. Nggak! Nggak semua orang bersedia seperti itu. Bagaimana cara melihat ketulusan? Saya... Nggak tahu. Sejauh ini, belum pernah saya temui orang yang benar-benar tulus, sekalipun itu kedua orang tua. Mengapa, sebab masih saya dengar "minta imbalan", meski memang sudah seharusnya diberi imbalan.

4. Lakukan! Tunggu apa lagi?
Yap, MELAKUKAN apa yang sudah seharusnya dilakukan. Mau nerbitin buku, ya nulis dulu, direvisi, lalu dikirim dengan niat dan doa yang baik, meski mungkin hasilnya nggak baik. Lalu PASRAHKAN kepada ALLAH! Serahkan semuanya. Percayalah bahwa Allah akan memberikan yang terbaik. Ingat, Allah menjawab dengan tiga hal: ya, tidak, dan diganti dengan yang lain. Nggak semua yang kamu harapkan sekarang bisa terwujud saat ini juga kan? Itu. Sabar. S-A-B-A-R. Jangan kayak saya yang nggak sabaran, haha.

5. Jangan menyerah
(Jangan kayak saya, haha, sedikit gampang nyerah, wkwk, payah!) Iya dong, JANGAN NYERAH dong. Sesulit apa pun keadaan, semua pasti ada jalan keluar. Percayalah! ALLAH TIDAK TIDUR, Sayang. Pasti akan Allah beri, meski tidak saat itu juga. Dan, sudah banyak bukti, kan, kalau usaha takkan mengkhianati hasil?

Apa? Kamu masih iri juga? Malah makin-makin panas sampai hatimu kebakaran?
Waduh, gimana lagi ya?
Mmm.
6. Bertanya pada subjek yang bikin kamu iri
Yuhuuu, saya sudah pernah melakukannya! Meski sulit, malas, dan jijik setengah mati, wkwk. Ternyata setelah ngobrol, sayanya aja yang pendengki wkwk. Dan senang karena responsnya bagus. Lalu diam-diam, dalam hati saya mengiakan: pantas sukses, dia orangnya begini. Saya mah apa, serpihan bumbu balado di janjanannya :v Ada banyak tipe manusia, kan? Kadang, ada yang mesti diminta dulu baru dikasih. Kadang ada yang belum ditanya tapi sudah dijelasin duluan. Yang tipe kedua nih, favorit saya! Saya tuh suka diceritain! Ceritainlahhh. Siapa tahu nanti saya tertarik untuk menuliskannya, ya kan?

7. Bersyukurlah
Menengadah, untuk melihat mereka yang lebih "berada atau berpunya", boleh. Menunduk, untuk melihat mereka yang (maaf) mungkin kondisinya di bawah kita, boleh. Asal nggak lupa menatap lurus lagi. Ingat lagi, berhasil atau tidaknya sesuatu, kita sudah berusaha entah itu seratus persen atau setengah hati. Dan yang lebih penting dari sekian banyak kerumitan yang kita terima, dan ini lebih mahal harganya, dan tidak boleh disia-siakan adalah...
Kesehatan.
Tanpa kesehatan, kita tentu tidak bisa beraktivitas normal. Bisa menghirup oksigen tanpa sesak napas dan alat bantu, adalah salah satu anugerah yang patut disyukuri. JANGAN LUPA BERSYUKUR! Bersyukur bisa dilakukan dengan banyak hal. Bisa dicari di google ya!

Sudah, itu dulu. Kalau ada tip lagi, saya update ya. Selamat iri! Eh, selamat malam maksudnya.


Sidoarjo, 6/12/18


Salam,
Si Iri yang Berusaha Menaklukkan Iri

Sabtu, 01 Desember 2018

Bandung Punya Cerita - Bagian Dua


Setelah makan siang, perjalanan berlanjut ke Floating Market di Lembang. Sore itu langit mendung, tapi angin tidak begitu mengusik. Kami mendapatkan tiket berupa selembar voucher minum dan koin berwarna biru bernilai sepuluh ribu untuk ditukarkan dengan makanan. Jika koin tersebut kurang, maka kami bisa membelinya di konter terdekat.

Setelah pintu masuk, kami disambut dengan monumen Floating Market dengan perahu dan koin sebagai simbolnya, sama persis dengan voucher dan koin yang diterima tadi. Monumen itu ikelilingi beraneka bunga, dan danau di belakangnya. Beragam pepohonan membingkai perairan tersebut dan langit tampak begitu luas dipandang.

Di ujung sana menampakkan tulisan dengan huruf balok: Rainbow Garden. Lalu di bawahnya: Floating Market Lembang. Saya pun tak sabar menuju ke sana. Namun, sebaiknya tidak perlu terburu-buru. Sebab, kadang berjalan perlahan bukan berarti lambat atau kurang cekatan, tetapi untuk menikmati suasana dan meresapi rasa yang ada. Tidak semua hal bisa terjadi untuk kedua kali dengan tokoh dan suasana yang sama, kan?

Penjelajahan berlanjut. Ada berbagai jenis pohon di sini. Juga bunga-bunga yang mekar dan menambah daya tarik. Tiga orang berkostum unik dan berbeda yang cukup mengejutkan juga agak menyeramkan bagi saya, haha.

Banyak spot foto yang bagus untuk diabadikan dan dijadikan kenang-kenangan. Yang unik dari lokasi ini adalah, jalanan yang ada di sepanjang rute terbuat dari bambu. Takut tenggelam agak mendominasi dibandingkan kesenangan. Ya, memang dasarnya overthinking. Eits, tapi sudah berusaha saya kurangi lho.

Ada juga papan penunjuk jalan yang memberitahukan arah yang dituju dengan destinasi seperti di Jepang.  Apalagi ada beberapa orang yang mengenakan baju a la Korea dan Jepang. Gaya arsitektur gazebo-gazebo di sini juga a la bangunan di dua negara itu. Benar-benar mirip! Nggak cuma gazebonya, tapi di beberapa tempat ada juga hiasan khas.

O ya, selain gazebo di tepi danau, ada juga beberapa gazebo apung di tempat ini. Salah satunya adalah tempat untuk menyewa kostum Asia Timur! Iya, ada Kimono dan Hanbok yang bisa disewa. Entah bayarnya berapa, saya nggak sempat tanya. Justru sibuk mengabadikan pemandangan hampir setiap kali melangkah, hihi. Walau ada yang kelewatan difoto juga karena terlalu ramai. Ya namanya juga tempat wisata ya kan?

Danau di sini dihuni ikan-ikan hias yang ukurannya beragam. Ada yang besar pula. Pengunjung bisa memberikan makan dengan membeli pakan di konter yang berjajar di sepanjang jalan dengan para penjual yang membuka kios di atas perahu. Menarik bukan? Di dekat pasar apung ini ada juga pelabuhan rapuh. Eh, nggak, nggak rapuh. Dermaga dengan wahana yang bisa disewa dan dinikmati. Wahana permainannya beragam, mulai dari kereta air, kano, sampan, paddle boat, dan lain-lain. Ya, lagi-lagi saya melewatkan hal menarik dan seru.

Banyak opsi yang bisa dikunjungi di lokasi ini yang saya lewatkan, sebab saya merasa waktu berkunjung cukup singkat, selain itu saya juga terpisah dari dua teman, dan berakhir jalan sendirian, haha. Sekaligus bingung, harus jalan ke mana, karena ada beberapa persimpangan dengan papan penunjuk jalan. Dan akhirnya, saya bertemu lagi dengan dua teman tadi, yay!

Berikutnya, kami juga bertemu dengan teman-teman yang lain. Ternyata mereka sedang menikmati makanan khas yang ada di sini, tetapi di lokasi yang berbeda dengan yang saya lewati tadi.

Apa? Kelanjutannya? Sabar. Doakan saya bisa segera menuliskannya ya, setelah tugas--tugas saya beres.
Apa? Kelamaan? Kalau gitu, bantu saya ngerjain tugas, biar cepat nulis, hehe.

Sidoarjo, 02/12/18

Ttd,
Perindu Bandung

Sebagian 2025

Awal tahun 2025 menjadi pembuka untuk memulai pelajaran baru, dalam rangka menambah kemampuan. Kali ini dimulai dengan mengikuti workshop pe...