­

AKU MAU MATI! – SERIUS? MEMANGNYA KAMU SIAP?

Juli 15, 2018


“Aku tidak berharga!”
(Oh ayolah, kalau kamu tidak berharga, orangtuamu takkan membesarkanmu sampai sekarang, kan? Bagaimana? Masih mau mati dan merasa tidak berharga?)

“Masih! Semua yang kulakukan selalu salah!”
(Namanya juga proses. Kalau tidak ada salah dan gagal, nggak ada orang sukses, kan? Trial and error!)

“Aku tidak bisa berbuat apa-apa!”
(Masa sih? Tidak bisa bernapas? Makan? Minum? Bicara? Menulis? Bisa, kan?)

“Kalau itu, semua orang ya pasti bisa! Maksudku, berbuat terhadap sesuatu! Terus aja nggak becus dan aku nggak pantas hidup!”
(Oh, terhadap sesuatu. Kamu bisa berjalan, bahkan berlari, kan? Itu sesuatu lho. Karena nggak semua orang bisa melakukan itu. Kamu beruntung. Sadar tidak, di luar sana, ada yang mendambakan hidup sepertimu. Jadi, kamu pantas hidup dengan sebagaimanapun keadaanmu.)

“Bullshit! Aku mau mati! Bahkan saat aku mati pun, aku nggak yakin bakal ada yang nangisin aku karena merasa kehilangan! Nggak ada yang peduli sama aku!”
(Bukan bullshit, saya hanya bicara fakta. Kamu bisa melihat ke bawah—ke orang lain yang kurang beruntung—atau ke atas, orang-orang yang lebih darimu. Mungkin kamu terlalu sering mendongak, dan lupa menunduk. Saat menatap lurus pun, orangtuamu—jika masih ada—pasti akan menjadi orang pertama yang menangis atau berusaha tidak menangis saat kamu memilih mengakhiri hidupmu, tergeletak tak berdaya. Mereka mendambakanmu, sampai akhirnya Ibumu mengandungmu, dan mereka membesarkanmu sampai sekarang. Bahkan tidak sekadar membesarkanmu, tapi juga mendidikmu dan hal-hal beruntung yang kamu dapatkan sampai sekarang. Lagi-lagi, sementara di luar sana tidak sedikit pula yang tak sempat memilikimu seperti kedua orangtuamu. Masih mau mati?)

“Masih!”
COME ON! ISTIGFAR! MATI TIDAK SESEDERHANA ITU, KAWAN!
Bukan hanya kamu kok yang serbasalah, tapi saya juga. Menyedihkan dan memprihatinkan memang acapkali ketika melakukan sesuatu tetapi selalu salah, padahal sudah berusaha sebaik mungkin. Tak becus dan rasanya hanya ingin mati! Mati adalah jalan terbaik mengakhiri segala penderitaan.

Apa kamu yakin akan bunuh diri? Bukankah yang namanya manusia memang tak luput dari salah? Justru  dari kesalahan-kesalahan itulah seseorang akan mengerti artinya berjuang. Lantas, apa kamu yakin, penderitaanmu akan usai ketika kamu mati?

“Tapi aku nggak pernah benar! Nggak sekalipun!”
“Apalagi di mata orangtua! Aku ini anaknya tapi kok nggak pernah cocok??? Sebenarnya aku ini anaknya siapa??? Tetangga???”
Tenang, jangan nge-gas gitu dong. Saya juga sama sepertimu sampai detik ini, di usia yang sudah puluhan, tapi bisa dihitung jari kebenaran yang saya perbuat di depan mata mereka. Dan itu pun hanya dari hal-hal kecil dan sangat sepele. Yang kecil saja kadang bahkan seringnya masih salah, apalagi yang besar? Segalanya berproses, kan?

“Nah makanya itu! Aku pengin mati! Aku mau mati! Dengan mati, penderitaanku selesai!”
Yakin, mau mati? Kita masih bisa bicarakan semuanya baik-baik. Tidak perlu ada pertumpahan darah selagi menggunakan asas kekeluargaan. Kalaupun keluargamu tak mau atau tak bisa diajak bicara baik-baik mengenai masalahmu, kamu bisa bercerita ke orang terdekat dari keluargamu, yang bisa kamu mintai tolong untuk menyampaikan pada keluargamu.

“Nggak ada! Jadi benar, kan, kalau aku memilih mati?”
Agama mana yang menghalalkan mati? Kalau kamu tak punya orang terdekat dari keluarga yang bisa dimintai tolong, bisa lewat orang terdekat yang lain, entah itu tetangga atau mama atau papanya temanmu. Kamu pasti punya teman, kan?

“Nggak punya. Mereka musiman. Dan aku juga sudah menarik diri dari pergaulan.”
Kamu pasti punya teman dekat, saya tanya teman dekat dan yang saya bicarakan ini bukan pacar ya. Bukan teman dekat yang itu. Tapi kalau kamu punya, bisa juga cerita ke dia, tapi, ya, risiko bercerita ke orang selain dirimu sendiri adalah cerita itu bisa bocor. Kamu tahu itu, kan? Dan sebisa mungkin, jangan menarik diri dari pergaulan, bisa tak tertolong. Manusia adalah makhluk sosial. Tidak ada manusia yang benar-benar bisa hidup sendiri. Manusia perlu Tuhan, orang lain, tumbuhan, air, cahaya, dan sebagainya. Tanpa Tuhan saja, kamu tak mungkin ada di sini. Begitu pun kalau tanpa sumber daya alam dari Tuhan.

“Kamu banyak omong! Sok bijak! Memangnya kamu siapa???”
Bukan siapa-siapa. Hanya saja, saya juga berada di posisi yang sama denganmu. Saya bahkan sudah memikirkan ingin mati sejak saya SD. Sejak teman-teman dekat mengkhianati saya dan sampai hari ini masalah itu belum terlupakan. Iya, saya pendendam, tapi tak melakukan apa-apa untuk balas dendam, selain berusaha legowo, dan membersihkan nama saya yang tercemar sejak masalah itu timbul. Seingat saya, tak ada satu pun teman sekelas yang memercayai saya waktu itu. Saya tidak tahu motif apa yang dilakukan oleh teman dekat, eh, bahkan saya menganggapnya sahabat karena sejak kelas satu SD kami selalu menghabiskan waktu bersama.

Namun, kalau tak salah ingat, sewaktu kelas empat sampai kelas enam, segalanya berubah. Persahabatan menjadi permusuhan hanya karena masalah sepele: cowok, yang bahkan cowok itu adalah hak saya! Kenapa saya bilang kalau cowok itu hak saya? Karena dia teman baru saya di luar lingkungan saya selama ini! Dan mantan sahabat saya itu “merenggut” semuanya. Saya tidak tahu apa motifnya. Padahal saya hanya minta tolong dengan meminjam ponselnya untuk memperingatkan agar teman saya, si cowok itu, tidak sering menghubungi saya karena Ayah, terutama Ibu paling risi dan benci kalau melihat saya main ponsel atau mendengar ponsel saya berbunyi :’( bahkan sampai hari ini dan berlaku juga untuk adik saya—tidak suka melihat keluarganya sibuk dengan ponsel. Lantas, apa yang teman saya perbuat? Dia berbuat “curang” di belakang saya bersama teman-teman saya yang lain. Iya, di belakang saya!

Kemudian masalah bertambah runyam karenanya. Ya, “dimusuhi” teman sekelas dan teman baru yang juga dalam jumlah banyak, yang tinggalnya tidak sedesa alias beda kecamatan! What do you feel? What do you think? Makanya, saya bersyukur karena masih bisa mengendalikan diri dan masih hidup sampai detik ini.
Tentu, saya yang menjadi kambing hitam dan saya akui, saya bodoh sekali karena meminta tolong pada sahabat yang saya pikir, dia takkan pernah berkhianat, tapi ternyata bangs*t. Istigfar.

Ditambah lagi dengan permainannya yang lain, mendirikan geng di sekolah dan saya sebagai sahabatnya, harus melakukan sesuatu jika ingin bergabung dengan gengnya. Bayangkan, sahabat karib masih harus melakukan sesuatu untuk bergabung dengannya! Jadi, hubungan pertemanan kita selama ini kamu anggap apa??? Oke, anggap saja baper. Eh tapi zaman dulu belum ada kata baper ya. Sejak saat itu, saya secara tak sadar, mulai tak semudah itu untuk percaya pada orang lain dan baru saya sadari sepenuhnya sekarang. Dia, satu-satunya yang saya andalkan justru membuat saya terjerembap dan kehilangan pegangan sehingga saya ingin mati.

Bayangkan saja sendiri, anak SD sudah "berpolitik" seperti itu. Oh atau kisahmu semasa SD lebih sadis daripada kisah saya? Saya terus berharap takkan pernah menjumpai mereka lagi di kehidupan saya, tapi Tuhan berkehendak lain. Di tempat yang sekarang, kuliah, masih menjumpai mereka. Selalu ada saja salah satu dari mereka yang tergabung dalam tempat yang saya singgahi. Mengherankan. Mungkin ini salah satu cara Tuhan agar saya mau berdamai, tapi saya yang pendendam ini masih tidak ikhlas... Masih berat... Bahkan untuk sekadar lupa, masih sempat teringat hanya dengan menyebut atau membaca atau menjumpai mereka di media sosial, masalah masa lalu terangkat kembali dan mau murka :’( Iya, saya semenyedihkan dan sependendam itu. Tapi saya tidak berniat membunuh mereka kok. Hanya berkeinginan membunuh diri sendiri, tapi tidak berani sampai sekarang, sebab masih ingat dosa dan “utang-utang” yang belum dibayar.

“Aku mau mati! Aku capek menderita kayak gini!”
Ah, kamu ini, kenapa masih bersikukuh ingin mati? Memangnya kamu yakin tidak akan menderita setelah mati? Bagaimana kalau justru penderitaan di alam sana tak ada hentinya dan jauh lebih berat daripada saat kamu di dunia? Bukankah di Al quran juga sudah tercantum mengenai kuasa-Nya? Lantas, masihkah kamu ingin mati? Bagaimana kalau kamu bercerita kepada Tuhan saja? Atau menulisnya? Sebagai arsip yang bisa kamu kenang dan banggakan suatu saat nanti karena kamu bisa melewati masa-masa kelammu serta sarana terapi yang mudah. Atau datang ke psikiater untuk memeriksakan kesehatan mentalmu? Saya ingin melakukan itu, tapi... Tak ada anggaran. Mungkin, kamu mau menganggarkan dana untuk memeriksakan saya? Wkwk. Semoga kamu tidak bersikeras ingin mati, ya. Semangat! Selalu berdoalah kepada Tuhan. Dia selalu mendengarkan doa-doa hamba-Nya dan menjawabnya dengan tiga macam. Semangattt!!!

15/07/2018 20.40
Ttd,
Yang berusaha untuk terus hidup meski baru patah hati lagi kemarin (bukan karena cinta pada lawan jenis)


You Might Also Like

0 Comments

Popular Posts