­

Bandung Punya Cerita - Bagian Enam

April 06, 2019

Masih di Bandung. Dan masih diguyur hujan hingga malam. Perjalanan dari JnC Cookies tadi sore untuk menuju Ciwidey ternyata memakan waktu yang lama. Musik dengan beragam genre pun dialunkan di dalam bus selama perjalanan. Saya? Tidur. Bangun lagi. Tidur lagi. Bangun lagi. Kalau capek, ikutan nyanyi. Kalau malas? Tidur lagi. Kalau lapar, makan jajan. Terus tidur lagi. Hobi tidur? Enggak. Saya hanya menyiasati agar dua monster dalam diri saya tidak terbangun.



Kami tiba di Ciwidey dengan tubuh lemas. Karena belum makan malam. Karena kecapekan juga. Dan hujan masih turun. Rintiknya mengiringi langkah kami selama berjalan menuju rumah makan klasik dan unik, sementara bus sedang diparkirkan. Rumah makan ini disusun menggunakan bambu yang warnanya mengilat. Langit-langitnya cukup tinggi. Banyak meja dan kursi, juga tempat lesehan di tepi. Tahu-tahu, antrean sudah mengular saja. Saya dan sebagian teman-teman memilih tempat lesehan untuk meluruskan kaki. Mereka masih bercakap-cakap, memutuskan kapan mulai mengantre, mengeluhkan perjalanan menuju kemari, bercerita apa saja yang didapat dari kunjungan ke perusahaan tadi, dan lain-lain. Sedangkan saya hanya ingin segera makan, jeda sebentar lalu tidur.



Setelah makan, kami kembali ke bus untuk mengambil barang bawaan yang cukup banyak dan berat. Kami membawa barang masing-masing dan berjalan menuju penginapan. Jaraknya terkesan lumayan jauh, apalagi membawa barang-barang seabrek, ditambah lagi gerimis belum usai, pencahayaan yang minim sepanjang jalan, jalanan yang becek, sepatu dan tas yang juga basah, kenyang dan harus keluar tenaga lagi, capek, pusing... jurus seribu sambat, wkwk. Teman-teman yang lain pun mengeluh. Saya nggak sendirian dong, wkwk. Rasanya kami seperti sedang naik gunung, wkwk. Walau nggak sebanding juga. Saya bahkan ingin meninggalkan tas begitu saja saking capeknya, haha. Teman sekamar saya yang tadi jalan bareng saya pun entah ke mana. Pencahayaan yang minim, membuat saya sulit mengenali dan mencari teman-teman saya.



Banyak rumah-rumah yang mulai dekat. Saya harus menemukan nomor rumah dan nama penghuni setiap rumah. Sialnya, saya nggak tahu nomor kamarnya. Dan saya kehilangan teman yang mayoritas membawa kopor sehingga bisa jalan lebih cepat, sedangkan saya tidak. Kedua tangan saya pun sampai memerah dan perih karena mengangkat dan menjinjing tas secara bergantian. Sampai-sampai saya menendang, juga mengayunkan tas agar bisa melangkah lebih lebar. Yeah, no one care. They’re busy with theirself. I know that. So, I wish, Allah will always help me.



Saya mendekat ke sebuah rumah dan melongok. Ternyata bukan.

Kemudian mengecek ponsel. Dan tidak ada sinyal. Oh God, semesta seperti sedang bercanda. Saya berada di sisa perjalanan bersama orang-orang yang terus berlalu lalang... sibuk dengan keperluan sendiri. Dan saya sadar, memangnya saya siapa, sampai ada orang yang peduli pada saya? Dan... mata saya makin berkaca-kaca. Malam itu, Bandung yang memesona terasa begitu kejam kepada saya. Tapi saya nggak boleh lemah. Saya terus berjalan di tengah rintik hujan yang terus turun.



“In...”

Saya mengernyit, merasa ada yang memanggil. Saya menoleh ke kiri, tapi gelap.



“Inka!”

Saya mendengar teriakan entah dari mana datangnya. Saya menoleh ke segala arah sambil berusaha mengenali suara siapa yang memanggil saya. Di sisi kanan, lampu-lampu yang bersinar hanya dari teras-teras rumah.



“Hai! Ke mana aja? Kutungguin lho!” katanya yang muncul dari sisi saya sambil membawa koper. Saya mengusap mata. Alhamdulillah. Terima kasih, Ya Allah, telah Engkau kirimkan teman yang sedari tadi saya cari. Terharu. Masih ada yang “menunggu” saya, entah memang menunggu atau kebetulan bertemu setelah berpisah sekian menit tadi.



“Di belakang. Kan tasku bukan koper. Tanganku sampai merah semua nih. Perih,” keluh saya sambil meletakkan tas yang ditumpukan di kaki agar tidak basah. Coming very soon kaki kesemutan, wkwk.



“Sabar ya. Ini udah dekat kayaknya,” kalimatnya selalu menenangkan dan saya sangat suka <3 “Bentar, ini tadi yang lain ke mana? Coba chat,” lanjutnya lalu mengoperasikan ponsel.



“Nggak ada sinyal. Eh, tadi dari situ?” jawab saya sambil menunjuk menggunakan dagu ke arah rumah yang telah kami lewati. Ada teman-teman yang juga singgah di depan rumah, entah sudah menemukan atau hanya menumpang istirahat.



“Iya, tapi bukan.”

“Gimana ini ya? Masih jauh? Sumpah, nggak ada sinyal!”



“Iya, nggak ada. Ini pasti mereka pada chat aku. Lha nggak ada sinyal, gimana? Hm.”



Kami pun berjalan lagi. Nggak berapa lama kemudian, ada chat masuk ke ponsel teman dan kami menemukan rumahnya! Akhirnya, penderitaan ini usai sudah!



Nama penghuni rumah itu tertempel di kertas kertas kecil, yang dari kejauhan pun tak terlihat. Mesti mendekat kurang lebih setengah meter. Setiba di rumah, kami segera berberes secara bergantian. Bandung yang dingin terasa menembus hingga ke dalam rumah. Percaya atau tidak, satu-satunya tempat yang tidak dingin adalah di dalam kamar mandi, wkwk. Seriusan, di sana hangat. Begitu keluar dari kamar mandi... Beuh, dinginnya menusuk kulit. Tapi dengan adanya obrolan, rasa dingin itu sedikit bisa teredam.



Kami tidur. Sebagian mengenakan alas kaki. Lalu bersembunyi di balik selimut. Entah pukul berapa saya terbangun, dan demi apa pun hawa terasa sangat dingin hingga menusuk ke tulang. Saya bahkan juga memakai jaket. Air di kamar mandi gimana? Dingin. Tapi masih dinginan sikapmu kok, wkwk. Back to sleep. Can’t for the next destination.



Sampai jumpa besok pagi! 10 November 2018.



Sidoarjo, 6/4/19



Ttd,

Perindu Bandung

You Might Also Like

0 Comments

Popular Posts