Bandung Punya Cerita - Bagian Tujuh
April 08, 2019
Bandung, 10 November 2018
Pagi itu entah pukul berapa, saya menyingkap tirai jendela. Sebagian dari tim sekamar saya sudah siap untuk pergi dan tidak sabar dengan destinasi berikutnya, sebelum benar-benar meninggalkan Bandung.
Saya terpaku. Membisu pula dalam beberapa saat. Betapa di balik kegelapan yang membuat merinding tadi malam, ternyata pagi ini terlihat begitu menyenangkan. Pos berukuran cukup luas. Kabut. Pepohonan dengan daun-daun yang masih berwarna merah muda, tanda belum menua. Halaman luas. Rumput-rumput yang basah sehabis hujan dan bercampur embun.
Saya tutup kembali tirainya. Lalu buru-buru mencari ponsel. O dan tongkat narsis tentunya, wkwk. Hari ini akan menjadi balas dendam saya karena sejak tiba di sini, saya lupa membawanya dalam tas kecil, dan banyak spot yang terlewatkan tanpanya, huhu. Kenapa bawa itu? Biar nggak sering ngerepotin orang untuk minta difotokan. Karena nggak semua orang mau dimintai tolong—dan ikhlas. Dan hasil foto juga belum tentu sesuai dengan kemauan. Dan dengan tongsis yang sebetulnya sudah patah itu, angle foto bisa diatur sendiri. Walau mungkin dinilai nggak bagus sama orang lain, nggak papa. Setiap orang punya selera dan sudut pandang yang berbeda.
Hawa dingin seketika menyergap saat saya membuka pintu. Padahal sudah pakai kaus kaki. Padahal sudah pakai baju lengan panjang dan juga jilbab. Namun, udara terasa begitu sejuk. Saya mengedarkan pandangan ke sekitar. Gugusan gunung tampak begitu gagah di balik rumah-rumah yang kami tinggali semalam. Rumah-rumah yang semalam terlihat begitu ‘horor’, ternyata terlihat sangat cantik dan unik pagi ini. Dindingnya dari kayu-kayu bercat cokelat mengilat dipadukan dengan sasak, atap-atap berwarna hitam, kabut yang seperti menyembunyikan gugusan-gugusan gunung, teman serombongan yang sibuk berfoto, pos-pos yang cukup luas dan mantap dijadikan tempat berdiskusi, andaikata beberapa hari tinggal di sini. Hampir ketinggalan disebutkan: telaga kecil yang terletak di tengah halaman.
Demi apa pun, pagi itu rasanya saya hanya ini berada di tempat ini. Berdiam diri. Mengosongkan pikiran dan melepas penat. Lalu kembali mencari inspirasi untuk dieksekusi saat itu atau kemudian hari.
Saya dan teman-teman tentu tak mau melewatkan untuk mengabadikan tempat ini melalui kamera hp maupun kamera lain. Entah berapa puluhan atau bahkan ratusan kali mengambil foto, wkwk. O ya, yang tak boleh terlewatkan, saya juga menyempatkan merekam suasana sekitar menggunakan modus video. Kenapa? Kalau kangen, videonya bisa diputar. Nggak cuma punya foto aja. Biar makin kangen. Ah, enggaklah. Biar kangennya bisa terobati. Walau sedikit.
Ketika berjalan menuju rumah makan, dan menapaki jalan yang mungkin tadi malam kami lewati... saya jadi teringat kisah tadi malam. Dan memang jauh dari lokasi parkir bus. Jalan ke rumah makan aja hampir satu kilo meter sepertinya.
Di rumah makan ini, tempat untuk menyantap hidangan bersebelahan dengan telaga. Kami bisa melihat ikan-ikan yang berenang dan juga minta makan. Di ujung sana, kabut tebal atau awan yaa yang menggumpal dan menyembunyikan puncak gugusan gunung. Ada perkebunan yang terlihat seperti di kaki gunung. Ada wahana air juga yang bisa disewa. Dan wahana lain yang tidak saya amati dan potret.
Saat akan beranjak ke tempat lain, saya baru tahu nama tempat yang memesona ini: Emte Highland Resort. Hayoo, siapa yang kayak gini juga? Yang mungkin sudah ngobrol panjang kali lebar tapi di akhir percakapan baru tukar nama, wkwk.
Tebak, destinasi kami berikutnya di mana?
Psst, masih dan terus antusias!
Sidoarjo, 8/4/19
Ttd,
Perindu Bandung
0 Comments