Jumat, 21 Desember 2018

Bandung Punya Cerita - Bagian Empat

Memasuki bus untuk melanjutkan perjalanan lagi, saya mulai merasa kurang fit. Semakin cemas saat tenggorokan kering dan mulut terasa pahit. Nggak, dua hal menyebalkan itu  nggak boleh nyamperin saya. Nggak boleh. Nggak mau tahu gimana caranya. Akhirnya saya memilih untuk minum dalam beberapa menit sekali, sambil berharap untuk tidak buang air kecil. Saya mengubah posisi duduk berkali-kali ketika mulai merasa tidak nyaman. Berusaha tidur dan alhamdulillah, di bus yang dilengkapi bantal leher ini, saya bisa tidur dengan mudah dan sesering mungkin, wkwk. Ya, daripada melek tapi ngerepotin orang ya kan?

Begitu bus berhenti, saya berusaha segera turun. Rasanya, kedua hal menyebalkan itu mendobrak diri dan minta dikeluarkan. Yang benar saja! Akhirnya saya berjongkok di antrean toilet. Dan di sana, entah ada berapa orang yang dikalahkan oleh dua hal tersebut. Saya makin khawatir dan merasa sial. Tapi saya memejam sambil menyugesti diri: saya pasti kuat. Itulah mengapa saya pernah bilang bahwa perjalanan Sidoarjo-Bandung bukan perkara mudah.

Oke, sesi curhat sudah selesai.
Berikutnya kami antre untuk memasuki area Saung Angklung Udjo. Entah ini beruntung atau sial karena kami berkunjung malam hari, yang membuat sekitar gelap dan pemandangan tidak sejelas tadi. Tapi, di sini juga ada kios suvenir. Di sepanjang jalan untuk antre pun ada suvenir yang narik-narik saya untuk membungkusnya, wkwk. Saya harus kuat tahan godaan, haha. O ya, ada yang unik dari SAU. Bukan tiket berupa kertas atau gelang yang dipakai di tangan, tapi kami mendapatkan kalung berbentuk angklung mini. Selain itu, juga ditawarkan air mineral atau es krim. Saya pilih air mineral lah. Saya kan nggak bisa jauh darinya, wkwk. Eh, ini serius.

Kami berjalan ke gedung terbuka dengan tribun yang melingkar. Dosen pendamping kami bilang bahwa akan ada sesi bermain angkung bersama dan saya tidak sabar!

Saung Angklung Udjo sendiri ialah sanggar seni sebagai tempat pertunjukan seni, laboratorium pendidikan sekaligus sebagai objek wisata budaya khas daerah Jawa Barat dengan mengandalkan semangat gotong royong antarsesama warga desa.

SAU didirikan pada tahun 1966 oleh Udjo Ngalagena (Alm)--yang akrab dipanggil Mang Udjo--dan istrinya, Uum Sumiati. SAU berusaha mewujudkan cita-cita dan harapan Abah Udjo (Alm) yang atas kiprahnya dijuluki sebagai Legenda Angklung, yaitu Angklung sebagai seni dan identitas budaya yang membanggakan (Sinopsis Pertunjukan Bambu).

Berdasarkan lembaran sinopsis yang kami terima, pertunjukan bambu SAU ada beberapa macam. Ada demonstrasi wayang golek yang umumnya pementasan ini berlangsung lebih dari tujuh jam, yaitu pada malam hari, semalam suntuk sekitar pukul 20.00 sampai 04.00 WIB. Tak hanya itu, ada pula heleran, tari tradisional: tari topeng, angklung mini, arumba, angklung massal nusantara, dan bagian favorit saya: bermain angklung bersama.

Untuk pertama kalinya saya memegang angklung! Setelah sekian lama hanya melihatnya di televisi maupun ponsel. Nah, sekarang, kami tidak hanya memegang, tapi juga dibimbing bagaimana cara memainkan angklung. Ternyata cukup sederhana. Tangan kiri memegang tangkai kiri atas, sedangkan tangan kanan memegang pangkal kanan, lalu digerakkan, maka bambu dengan letak berongga yang ada di setiap blok akan bergeser, berbenturan, dan menghasilkan bunyi.

Eits, pertunjukan belum berakhir, tapi hujan mendadak turun dengan derasnya. Percikan air sampai terasa mengenai diri. Untungnya, di tribun ini tidak bocor--sepenglihatan saya. Namun, hujan tak mengurangi kadar keceriaan kami sambil menyaksikan pertunjukan yang ada. Terlebih, angklung orkestra. Kami bernyanyi bersama diiringi dengan angklung yang dikombinasikan dengan alat musik seperi gitar, perkusi, dan lain-lain. Bahkan di akhir pertunjukan, para pengisi pertunjukan mengajak para penonton untuk turun dari tribun dan menari bersama di depan panggung.


Sidoarjo, 07/12/18

Ttd,
Perindu Bandung



Kamis, 20 Desember 2018

Bandung Punya Cerita - Bagian Tiga

Setelah penjelajahan di Floating Market berakhir, kami melanjutkan perjalanan ke Farm House. Kami mendapatkan selembar tiket bergambar botol susu dan juga yang dalam kemasan gelas. Di sini ada spot-spot foto yang berbayar. Berhubung saya tidak ke spot tersebut dan tidak bertanya, maka saya tidak tahu berapa biaya masuknya, haha.

Di pelataran Farm House, ada beberapa kios dengan gaya unik, yang menjual beragam dagangan. Mulai dari makanan dan minuman, pernak-pernik, dan juga bunga-bunga.

Sebelum masuk, saya berfoto dengan teman sekelas, lalu lanjut dengan teman setim. Ketiga teman saya menukarkan voucher tersebut ke kedai susu berdinding putih, pun dengan pembatas untuk jalur antre dan keluar. Saya tidak menukarkan voucher, sebab tidak ingin minum susu demi menjaga kesehatan tubuh, wkwk. Alias tak mau repot dengan dua hal menyebalkan yang harus dijaga demi tidak merepotkan siapa pun, termasuk diri saya sendiri.

Memasuki Farm House, kami disambut dengan dinding dari tumbuhan, lalu beberapa bunga, juga ada air terjun mini. Kemudian ada taman, juga bangunan-bangunan besar dengan gaya arsitektur Eropa. Di area ini juga ada banyak kios yang bisa dikunjungi dan barangnya boleh dibawa pulang, asalkan dibayar dulu. Yaiyalah, haha.

Di area ini juga ada tempat sewa kostum khas seperti orang Eropa dengan gaun yang lebar dan mengembang. Juga ada kostum untuk laki-laki. Ada spot untuk foto juga di lantai dua yang tempatnya terbuka dan terlihat bagus. Atau bisa juga berkeliling untuk mencari spot foto yang sesuai dengan kostumnya.

Di tempat berikutnya, setelah kafe dengan eksterior bangunan yang ciamik, ada tempat bersantai juga di lantai dua. Ada beberapa pohon yang menaungi, juga tempat duduk yang biasa digunakan untuk berjemur.

Selanjutnya, ada spot yang tak kalah menarik, bangunan kecil serupa rumah dengan eksterior yang cantik untuk diabadikan dengan kamera. Di masing-masing  rumah tersebut juga ada nama, salah satunya Farmers Market--yang sayangnya saya lewatkan karena di sana ramai. Saya hanya melihat sekilas, memotretnya, lalu beralih ke lokasi lain.

Di tempat yang baru saja saya pijaki ternyata cukup tinggi. Pagar hitam memberikan batas bagi pengunjung untuk tidak melampauinya. Kecuali pengunjung tersebut ingin mengakhiri hidupnya dengan terjun bebas ke area persawahan yang dibingkai pepohonan. Jangankan terjun, melihat sekilas, bersandar di pagar pun saya merinding. Sebagaimana si overthinking sekaligus overnegativethinking, pikiran saya jelas ke mana-mana dan menjurus ke "sana". Maka, setelah merasa cukup untuk memotret, saya segera menjauh dari tapal batas. Saya masih mau hidup.



Ps. Ini masih hari petama dan perjalanan belum berakhir!
Nantikan kelanjutan ceritanya, ya!

Sidoarjo, 02/12/18

Ttd,
Perindu Bandung

Kamis, 06 Desember 2018

Cara Mengelola Rasa Iri a la Inka

Kira-kira, berapa banyak manusia yang tidak iri terhadap orang lain, ya? Mungkin jumlahnya jauh lebih kecil daripada orang-orang yang iri. Apalagi kalau rasa iri ini tidak dikelola dengan baik, tentu bisa menjadi petaka.
Lantas, bagaimana cara mengelola rasa iri, bahkan menaklukkannya?

Tak bisa saya pungkiri, meski sebetulnya enggan saya akui bahwa salah satu cita-cita saya adalah menjadi penulis dan menerbitkan banyak buku, terutama karya sendiri atau buku solo. Namun, sudah bertahun-tahun menulis--meski mungkin lamanya saya belajar menulis belum setara dengan penulis senior atau yang sudah berpengalaman--belum ada buku solo yang terbit. Mayoritas karya saya yang terbit adalah dari banyak karya orang yang dikumpulkan, lalu dibukukan. Atau lebih familier disebut sebagai buku antologi.

Beberapa tahun lalu saat penerbit-penerbit besar--berbadan hukum, atau lebih dikenal dengan sebutan penerbit mayor atau yang tidak memungut sepeser pun biaya untuk menerbitkan buku--belusukan atau menyelam di dunia oranye atau Wattpad. Kemudian banyak karya-karya yang "dipinang". Diterbitkan. Apalagi dengan label "telah dibaca sekian juta kali di wattpad", saya minder. Makin ke sini kian minder. Tambah minder lagi saat viewers atau readers, juga followers adalah ladang "laba". Yap, perusahaan mana sih yang nggak mau dapat profit? Nggak ada kan? Nah, itu, saya sudah coba beragam cara, tapi followers, readers, juga viewers saya tetap sedikit di dunia oranye. Tidak sampai 300 orang. Makin-makin minderlah saya, haha. Lalu perlahan melupakan ambisi untuk menerbitkan buku sampai sekarang, huhu. Tapi masih berharap dan berusaha juga agar bisa terwujud.

Nggak cuma di situ. Hal itu juga saya barengi dengan melamar penerbit. Yas, saya menawarkan atau mengajukan naskah sejak beberapa tahun lalu. Masa tunggu jawaban dari lamaran saya pun beragam, mulai kurang dari satu bulan sampai bertahun-tahun! Iya, untuk memperoleh konfirmasi "diterima dan akan diterbitkan atau ditolak dan tidak atau belum cocok untuk diterbitkan" bisa memakan waktu selama itu. Kudu suabaaar, huhu. Apalagi untuk calon penulis yang belum punya "nama".

Halah, kan bisa dilupain.

Apa? Dilupain kamu bilang? Masa sih, kamu bisa secepat itu lupa kalau habis menyatakan cinta tapi belum dapat jawaban apa-apa sampai segitu lamanya. Masa sih nggak kepikiran bakal dijawab gimana, atau ungkapan perasaanmu itu dianggap atau diperlakukan seperti apa...
Gimana? Bisa secepat itu melupakan? Enggak, kan? Haha.

Bahkan prinsip yang saya temukan entah di mana dan lupa: tulis, kirim, lupakan. Agaknya berpengaruh. Lumayan, nggak stress-stress amat, wkwk. Berasa melamar calon pendamping hidup beneran kan?

Jadi, gimana jawaban atas lamaranmu, Ink?

Ditolak! Entah sudah berapa kali ditolak! Terus diajuin lagi. Ditolak! Terus diajuin lagi. Kurang sabar apa saya tuh, disakiti tapi nggak kapok wkwk, meskipun galau dulu dong berhari-hari. Sambat dulu dong. Nangis dulu dong. Marah-marah dulu dong, sebelum akhirnya bisa move on! Yay! Bisa move on itu salah satu anugerah terindah lho! Apalagi dapat dukungan lagi dari teman-teman.

Lalu saya balik lagi ke diri sendiri. Mempertanyakan apa yang sempat dibulatkan dan seambisius itu. Sebetulnya, apa yang saya cari dari nerbitin buku itu? Tenar? Royalti? Sombong? Pamer? Atau apa?
Kemudian saya berkaca lagi. Menarik diri lagi. Menjauh dari segala yang saya ambisikan. Setelah sempat merasa pantas, tapi nyatanya tidak. O, bukan tidak. Mungkin hanya belum. Semua butuh waktu. Semua butuh proses. Dan saya juga tak ingin menulis omong kosong. Apalagi kalau omong kosong itu dibaca banyak orang. Bisa-bisa marah atau malah bikin dosa jariyah. Astagfirullah. Naudzubillahi mindzalik.

Nggak cuma masalah nerbitin buku. Selain di dunia perbukuan dan penerbitan itu, buanyak hal yang membuat saya iri. Contoh: teman-teman punya ini-itu baru, sedangkan saya nggak gitu. Teman-teman dapat ini-itu tanpa susah payah, sedangkan saya mesti berusaha ekstra, dan sebagainya.

Lantas, apa yang saya lakukan?

1. Menarik diri atau jaga jarak dari segala kegiatan
Sepulang kuliah, langsung pulang. Atau kalau pagi, sampai di kampusnya telat atau mepet jam masuk. Jaga jarak sama organisasi-organisasi beserta anggotanya. Pokoknya nggak banyak ketemu dan ngobrol sama orang! Tujuannya apa? Untuk mengurangi obrolan sama teman-teman yang berpotensi menyakiti hati. Apalagi saya orangnya sinis dan ketus ya kan. Yang dikhawatirkan dari ketemu sama subjek yang diiri-in ataupun teman-teman? Saya gelap mata, haha. Makanya nggak mau lama-lama, wkwk.

2. Menyendiri dan merenung
Untuk memikirkan lagi kenapa saya iri? Kenapa harus seiri ini? Kenapa harus sesakit ini? Dan hal-hal negatif dan meremehkan si subjek tadi.
Kemudian mulai berusaha berpikir jernih. Apa saya bisa seperti dia?
Untuk berkaca lagi.
Apa saya sudah pantas dengan kemauan saya yang seperti ini? Siapa yang akan mendukung saya? Saya kan nggak punya pac*r, sahabat, dan kawan-kawannya seperti dia. Terus berusaha memupuk diri untuk bertumbuh dan berkembang.

3. Kokohkan pondasi
Nggak mau dong, tenggelam dalam keterpurukan? Ya nggaklah.
Nggak mau dong, lukanya nggak segera kering? Ya nggak mau lah. Lalu, ngapain? Ya BERUSAHA dong! Berusaha yang gimana? Pertama, NIAT! Niatkan semua yang akan dilakukan adalah hanya KARENA ALLAH. Bukan untuk dipuji orang tua, pac*r, sahabat, orang yang bikin iri, dosen, gebetan, selingkuhan, dan sebagainya. Lakukan dengan tulus. Sebisa mungkin tidak berharap bahwa apa yang kita lakukan untuk orang lain, kemudian mereka akan bersedia melakukan hal yang sama seperti yang kita lakukan. Nggak! Nggak semua orang bersedia seperti itu. Bagaimana cara melihat ketulusan? Saya... Nggak tahu. Sejauh ini, belum pernah saya temui orang yang benar-benar tulus, sekalipun itu kedua orang tua. Mengapa, sebab masih saya dengar "minta imbalan", meski memang sudah seharusnya diberi imbalan.

4. Lakukan! Tunggu apa lagi?
Yap, MELAKUKAN apa yang sudah seharusnya dilakukan. Mau nerbitin buku, ya nulis dulu, direvisi, lalu dikirim dengan niat dan doa yang baik, meski mungkin hasilnya nggak baik. Lalu PASRAHKAN kepada ALLAH! Serahkan semuanya. Percayalah bahwa Allah akan memberikan yang terbaik. Ingat, Allah menjawab dengan tiga hal: ya, tidak, dan diganti dengan yang lain. Nggak semua yang kamu harapkan sekarang bisa terwujud saat ini juga kan? Itu. Sabar. S-A-B-A-R. Jangan kayak saya yang nggak sabaran, haha.

5. Jangan menyerah
(Jangan kayak saya, haha, sedikit gampang nyerah, wkwk, payah!) Iya dong, JANGAN NYERAH dong. Sesulit apa pun keadaan, semua pasti ada jalan keluar. Percayalah! ALLAH TIDAK TIDUR, Sayang. Pasti akan Allah beri, meski tidak saat itu juga. Dan, sudah banyak bukti, kan, kalau usaha takkan mengkhianati hasil?

Apa? Kamu masih iri juga? Malah makin-makin panas sampai hatimu kebakaran?
Waduh, gimana lagi ya?
Mmm.
6. Bertanya pada subjek yang bikin kamu iri
Yuhuuu, saya sudah pernah melakukannya! Meski sulit, malas, dan jijik setengah mati, wkwk. Ternyata setelah ngobrol, sayanya aja yang pendengki wkwk. Dan senang karena responsnya bagus. Lalu diam-diam, dalam hati saya mengiakan: pantas sukses, dia orangnya begini. Saya mah apa, serpihan bumbu balado di janjanannya :v Ada banyak tipe manusia, kan? Kadang, ada yang mesti diminta dulu baru dikasih. Kadang ada yang belum ditanya tapi sudah dijelasin duluan. Yang tipe kedua nih, favorit saya! Saya tuh suka diceritain! Ceritainlahhh. Siapa tahu nanti saya tertarik untuk menuliskannya, ya kan?

7. Bersyukurlah
Menengadah, untuk melihat mereka yang lebih "berada atau berpunya", boleh. Menunduk, untuk melihat mereka yang (maaf) mungkin kondisinya di bawah kita, boleh. Asal nggak lupa menatap lurus lagi. Ingat lagi, berhasil atau tidaknya sesuatu, kita sudah berusaha entah itu seratus persen atau setengah hati. Dan yang lebih penting dari sekian banyak kerumitan yang kita terima, dan ini lebih mahal harganya, dan tidak boleh disia-siakan adalah...
Kesehatan.
Tanpa kesehatan, kita tentu tidak bisa beraktivitas normal. Bisa menghirup oksigen tanpa sesak napas dan alat bantu, adalah salah satu anugerah yang patut disyukuri. JANGAN LUPA BERSYUKUR! Bersyukur bisa dilakukan dengan banyak hal. Bisa dicari di google ya!

Sudah, itu dulu. Kalau ada tip lagi, saya update ya. Selamat iri! Eh, selamat malam maksudnya.


Sidoarjo, 6/12/18


Salam,
Si Iri yang Berusaha Menaklukkan Iri

Sabtu, 01 Desember 2018

Bandung Punya Cerita - Bagian Dua


Setelah makan siang, perjalanan berlanjut ke Floating Market di Lembang. Sore itu langit mendung, tapi angin tidak begitu mengusik. Kami mendapatkan tiket berupa selembar voucher minum dan koin berwarna biru bernilai sepuluh ribu untuk ditukarkan dengan makanan. Jika koin tersebut kurang, maka kami bisa membelinya di konter terdekat.

Setelah pintu masuk, kami disambut dengan monumen Floating Market dengan perahu dan koin sebagai simbolnya, sama persis dengan voucher dan koin yang diterima tadi. Monumen itu ikelilingi beraneka bunga, dan danau di belakangnya. Beragam pepohonan membingkai perairan tersebut dan langit tampak begitu luas dipandang.

Di ujung sana menampakkan tulisan dengan huruf balok: Rainbow Garden. Lalu di bawahnya: Floating Market Lembang. Saya pun tak sabar menuju ke sana. Namun, sebaiknya tidak perlu terburu-buru. Sebab, kadang berjalan perlahan bukan berarti lambat atau kurang cekatan, tetapi untuk menikmati suasana dan meresapi rasa yang ada. Tidak semua hal bisa terjadi untuk kedua kali dengan tokoh dan suasana yang sama, kan?

Penjelajahan berlanjut. Ada berbagai jenis pohon di sini. Juga bunga-bunga yang mekar dan menambah daya tarik. Tiga orang berkostum unik dan berbeda yang cukup mengejutkan juga agak menyeramkan bagi saya, haha.

Banyak spot foto yang bagus untuk diabadikan dan dijadikan kenang-kenangan. Yang unik dari lokasi ini adalah, jalanan yang ada di sepanjang rute terbuat dari bambu. Takut tenggelam agak mendominasi dibandingkan kesenangan. Ya, memang dasarnya overthinking. Eits, tapi sudah berusaha saya kurangi lho.

Ada juga papan penunjuk jalan yang memberitahukan arah yang dituju dengan destinasi seperti di Jepang.  Apalagi ada beberapa orang yang mengenakan baju a la Korea dan Jepang. Gaya arsitektur gazebo-gazebo di sini juga a la bangunan di dua negara itu. Benar-benar mirip! Nggak cuma gazebonya, tapi di beberapa tempat ada juga hiasan khas.

O ya, selain gazebo di tepi danau, ada juga beberapa gazebo apung di tempat ini. Salah satunya adalah tempat untuk menyewa kostum Asia Timur! Iya, ada Kimono dan Hanbok yang bisa disewa. Entah bayarnya berapa, saya nggak sempat tanya. Justru sibuk mengabadikan pemandangan hampir setiap kali melangkah, hihi. Walau ada yang kelewatan difoto juga karena terlalu ramai. Ya namanya juga tempat wisata ya kan?

Danau di sini dihuni ikan-ikan hias yang ukurannya beragam. Ada yang besar pula. Pengunjung bisa memberikan makan dengan membeli pakan di konter yang berjajar di sepanjang jalan dengan para penjual yang membuka kios di atas perahu. Menarik bukan? Di dekat pasar apung ini ada juga pelabuhan rapuh. Eh, nggak, nggak rapuh. Dermaga dengan wahana yang bisa disewa dan dinikmati. Wahana permainannya beragam, mulai dari kereta air, kano, sampan, paddle boat, dan lain-lain. Ya, lagi-lagi saya melewatkan hal menarik dan seru.

Banyak opsi yang bisa dikunjungi di lokasi ini yang saya lewatkan, sebab saya merasa waktu berkunjung cukup singkat, selain itu saya juga terpisah dari dua teman, dan berakhir jalan sendirian, haha. Sekaligus bingung, harus jalan ke mana, karena ada beberapa persimpangan dengan papan penunjuk jalan. Dan akhirnya, saya bertemu lagi dengan dua teman tadi, yay!

Berikutnya, kami juga bertemu dengan teman-teman yang lain. Ternyata mereka sedang menikmati makanan khas yang ada di sini, tetapi di lokasi yang berbeda dengan yang saya lewati tadi.

Apa? Kelanjutannya? Sabar. Doakan saya bisa segera menuliskannya ya, setelah tugas--tugas saya beres.
Apa? Kelamaan? Kalau gitu, bantu saya ngerjain tugas, biar cepat nulis, hehe.

Sidoarjo, 02/12/18

Ttd,
Perindu Bandung

Jumat, 23 November 2018

Roller Coaster Kehidupan

Belakangan, jalanin kehidupan makin berasa seperti naik roller coaster. Naik-turun. Tiap hari. Untungnya ada jeda (baca: sewaktu tidur). Dulu, nggak bisa tidur kalau sesuatu belum benar-benar selesai. Iya, overthinking itu melelahkan. Sangat. Merepotkan? Banget. Menyedihkan? Iyaaa!

Kadang, bahkan seringnya saya iri dengan teman-teman yang tak acuh terhadap suatu hal, padahal hal tersebut melibatkannya. Kok bisa santai? Oh, bukan-bukan. Bukan santai, tapi semacam lepas tangan, atau berpangku tangan. Alias nggak mau tahu. Salut campur heran. Saya jadi mau tahu resepnya. Syukur-syukur kalau diajarin praktik "nggak pedulian". Jadi, gimana resep dan caranya, Teman-teman?

Saya balasin chat pun perlu mood yang bagus, kalau pesannya mengindikasikan sesuatu yang negatif (baca: kabar kurang menyenangkan).

Atau mood statis (baca: mati rasa). Kalau kabar bagus ya biasa aja. Kabar nggak bagus pun demikian. Tanpa ekspresi. Tanpa ekspektasi. Dan tidak menebak bagaimana sesuatu itu pada akhirnya: kabar bagus yang tidak membebani, atau kabar buruk yang makin bikin cuma pengin di rumah dan nggak buka media sosial.

Yang terakhir, mood buruk. Yang lebih baik pesannya diendapkan dulu (baca: nggak usah langsung dibalas, beberapa jam atau hari kemudian). Mengapa? Demi tidak menggores hati. Sebab, via teks mudah menimbulkan kesalahpahaman karena pesan tersebut tak bernada. Nggak tahu, nada yang sebetulnya itu gimana.

Sebetulnya saya nggak suka chatting. Kenapa? Toxic! Candu juga! Kalau obrolannya seru, susah berhenti, huhu. Sangat meracuni, huhu. Selain itu, sebetulnya, daripada digunakan untuk chit-chat sana-sini buat haha-hihi, lebih baik saya alihkan untuk mengerjakan sesuatu (baca: tugas dan tanggungan lain).

Menulis perkembangan diri misalnya. Mm, maksudnya, nulis jurnal atau diari. Fungsinya? Untuk mengetahui perkembangan emosi diri. Emosi itu bukan cuma marah, tapi juga senang, sedih, dan selainnya.

Yang mana tulisan itu bisa dibaca sewaktu-waktu. Bahkan bisa bikin ketawa karena ternyata pernah mengalami ini dan respons saya begini, dan sebagainya.

Alasan lain, yang paling mendasar kenapa saya nggak suka chatting adalah...

"Pegang hp seperlunya. Bukan setiap saat. Chatting seperlunya. Bukan semaunya."

Begitu pesan kedua orang tua saya. Yang makin ke sini saya main mengiakan, bahwa hampir semua perkataan mereka benar. Sebab mereka sudah puluhan tahun menjalani kehidupan, sedangkan saya baru berusia setengah dari umur mereka.

Yang ternyata semua itu memang melelahkan. Lelah harus menyediakan energi dan mood bagus untuk menghadapi banyak orang, sedangkan untuk isi ulang energi dan mood tidak semudah membalik telapak tangan.

Dulu, sulit jika diminta untuk tidur siang. Sekarang, sangat merindukan tidur siang. Ya, kan?

Begitu pun kalau ngobrol sama teman dekat atau orang lain. Saya sebetulnya sarkas. Baik dari segi lisan maupun tulisan. Itulah kenapa kalau mood saya buruk, atau habis dibikin jengkel sama orang, bukannya tenang, malah makin nyolot.

Tenang, saya nggak tinggal diam kok. Saya berusaha untuk mengendalikan diri lagi. Introspeksi terus-menerus. Mencari-cari bagian mana yang perlu diubah, dihilangkan, ditambah, ataupun bertahan.

Jadi, untuk chat yang belum dibalas, saya minta maaf sebesar-besarnya. Bukan saya nggak peduli. Tapi saya peduli dengan cara saya sendiri. Meski mungkin teman-teman merasa bahwa saya abai. Tapi sebetulnya tidak begitu. Belakangan, saya juga agak sulit mengungkapkan sesuatu. Maksud hati mau nulis A, malah jatuhnya ke B. Nggak sinkron sama yang diinginkan, huhu. Sedih saya tuh.

Untuk segala kesarkasan saya baik lisan maupun tulisan, dan pesan-pesan yang belum saya balas, saya minta maaf sebesar-besarnya. Semoga dimaafkan ya🙏

Semangat melanjutkan aktivitas! Semoga segera beres, jadi bisa santai dan tidur siang (sumber: dari saya yang jarang tidur siang, kuliah pulang sore hampir setiap hari, lalu sampai rumah dibandingkan dengan anak orang lain yang kegiatannya mungkin nggak sehectic saya :v).

Ps. Kalau mau ngobrol, boleh. Silakan kirim pesan. Tapi, maaf kalau nggak langsung direspons karena banyak sekali hal yang harus dikerjakan meski saya mungkin sedang online. Sebab, harus memantau banyak grup beserta anggota dan kegiatan yang akan, sedang, maupun sudah berlangsung. Semangat semuanyaaa!

Sidoarjo, 23/11/18

Ttd
Perindu tidur siang



Kamis, 15 November 2018

Bandung Punya Cerita - Bagian Satu


Bandung Punya Cerita - Bagian Satu

Sebelum tanggal tujuh hingga dua belas November 2018.

Perjalanan dimulai dari meminta izin pada pemilik novel NTdTK, yang dipinjami buku entah sudah berapa bulan lalu, tapi baru saya baca beberapa hari lalu, huhu. Iya, manajemen waktu saya kurang baik.

Meski sangsi takut novelnya ketinggalan, tapi ingat kalau perjalanan di kereta memakan waktu dua belas jam, dan sudah mendapat izin... Akhirnya dibawa juga.

Saya dan empat teman berangkat menuju stasiun pukul dua belas siang, sebab mengantisipasi agar tidak terjebak macet. Dan sebelum itu, saya dalam kondisi sial, sulit menelan obat dan belum apa-apa, sudah mau muntah. Tapi syukurlah, sampai di stasiun, tidak terjadi apa-apa, kecuali datang yang terlalu awal. Kami menunggu cukup lama untuk boarding pass. Perasaan campur aduk menjelang keberangkatan.

Pukul setengah lima sore, kami sudah berada di dalam kereta, sudah selesai dari sibuknya menata barang bawaan yang banyak dan berat. Kami berdoa masing-masing agar selalu dalam lindungan Allah Swt.

Perjalanan dua belas jam bukan perkara mudah bagi saya, apalagi ini perdana naik kereta. Ditambah lagi dengan dua kebiasaan saya yang kadang masih mengganggu, padahal sudah menyugesti tidak akan terjadi, nyatanya beberapa bulan lalu juga terjadi :')

Syukurlah, udara di kereta ternyata tak jauh berbeda dengan udara di luar sana. Sebab, udara memengaruhi. Dan perjalanan selama dua belas jam menjadi menyenangkan sebab tidak ada indikasi jika dua hal yang menyebalkan itu akan terjadi.

Setelah memindai seisi kereta, pikiran saya mulai berkelana, melihat ke jendela yang tampaknya matahari sudah mulai tenggelam. Dan banyak pemandangan indah yang dilewatkan. Teman-teman pun mengeluhkan. Tapi, Allah Swt lebih tahu apa yang terbaik untuk hambaNya.

Makan malam cukup mengejutkan, nasi goreng ditemani telur mata sapi dan ayam goreng, juga acar, saus, mentimun, serta kerupuk. Yang membuat terkejut adalah daftar menu beserta harganya, haha. Saya baru mengeceknya setelah makan.

Malam hari, saat saya merasa perlu segera menyelesaikan novel yang dipinjam cukup lama--dan pemiliknya terus menyemangati untuk segera membaca--akhirnya memulai membaca novel Nona Teh dan Tuan Kopi. Sedikit banyak, membuat bingung. Tak sepenuhnya mudah mencerna setiap tulisan yang ada di sana. Hanya asal membaca. Padahal sudah berkonsentrasi. Tapi cukup senang, meski teriris dan agak berat untuk dibaca selama perjalanan menuju "kesenangan". Iya, saya anggap ini liburan. Dan saya sudah memutuskan dan mengesahkan--ceilah bahasanya, wkwk--untuk tidak berekspektasi apa pun, sebab, biasanya saya mengkhayalkan sesuatu sebelum menjalaninya. Tapi kali ini, tidak terlalu begitu.

Mulai mengantuk, saya memutuskan untuk menyudahi kegiatan membaca--meski tak banyak menghabiskan jumlah halaman, tapi lumayan, daripada tidak dibaca sama sekali. Tak mau ambil risiko kalau novelnya jadi lecek atau ternoda.

Entah pukul berapa, saya terbangun, lalu memutuskan untuk menyantap nasi goreng yang sengaja masih disisakan, sebab sore hari setelah masuk kereta, saya baru makan bekal tadi siang, setelah sebelumnya tidak tuntas karena merasa tak enak. Bukan makanannya yang tak enak, tapi kondisi tubuhnya.

Pagi harinya, entah tepatnya pukul berapa--sebelum pukul tujuh seingat saya--rombongan saya sudah tiba di stasiun Bandung. Kami melanjutkan perjalanan menggunakan bus menuju ke Rest Area. Syukurlah, dua hal menyebalkan itu tidak menghampiri, udara di bus cukup bersahabat. Saya merasa senang, beruntung, meski masih waswas. Rombongan saya berbenah dan sarapan di area tersebut.

Kami melanjutkan perjalanan ke Kopi Luwak Cikole. Berhenti di pelataran rumah makan kalau tak salah ingat, lalu melanjutkan perjalanan menggunakan mobil angkutan umum, yang biasa disebut len, tapi di Bandung disebut shuttle.

Selama menimba ilmu di KLC, saya mengantuk. Sangat, sangat mengantuk, dan ini fatal. Agak lama tertidur, sebentar terbangun. Saya merasa tidak mendapat apa-apa di sana. Menyedihkan. Sungguh, kantuk yang saya rasakan, rasanya sama persis dengan yang terjadi sebelum saya menghadapi UTS. Selama beberapa hari, mata saya rasanya hanya ingin terpejam. Kantuk dimulai dari bangun tidur sampai menjelang tidur. Sejujurnya, mata tidak kuat membuka. Dan saya mati-matian berusaha agar tetap melek dan sadar. Dan saya tidak tahu, saya kenapa hingga detik ini. Tapi, semasa UTS, alhamdulillah, sudah melek dan sadar. Saya khawatir jika itu terjadi lagi hari ini(8/11). Dan benar-benar terjadi. Saya kalah terhadap diri sendiri. Mengerikan.

Di KLC, kami mendapat segelas kopi, yang bisa diseduh sendiri. Saya tak ikut mencicipi, takut lambung tak bisa diajak kompromi, dan saya juga tidak suka kopi. Lebih suka minum air putih. O ya ampun, kenapa saya kebanyakan curhat, haha.

Setelah dari KLC, kami kembali ke pemberhentian bus tadi. Kami melangsungkan makan siang dengan menu lezat. Di rumah makan itu, ada pohon berdaun menjari dengan warna kekuningan, keoranyean, dan kehijauan menyerupai daun maple, yang menyenangkan dipandang. Itu bagi saya, entah kalau yang lain. Yang sederhana dan receh saja saya suka, apa lagi yang lebih? Hihi. Yaaa, curhat lagi.

Apa? Mau tahu kelanjutannya? Tunggu saja! Doakan saya segera bisa menuliskannya, ya. Saya pun tak sabar menulisnya, tapi banyak hal yang haemrus dilakukan :') terus semangatttt!


Sidoarjo, 12/11/18

Ttd,
Perindu Bandung

Minggu, 04 November 2018

NASIHAT DIRI: HIDUP INI BUKAN HANYA TENTANG KITA

Tidak ada pemberitahuan apa pun kepada siapa pun saat saya sedang di taman dan menunggu hujan. Saya sangat berharap jika hujan mampu menghapus semua keresahan, ketakutan, dan semua hal negatif yang berkumpul dalam pikir.

Sore itu, mentari masih bersinar. Cahayanya memberikan kehangatan meski angin berembus cukup sering dan menerbangkan debu hingga mengusik mata. Kelimpanan.

Saya menunduk sambil mengusap-usap mata, berharap debu yang singgah akan hilang, pun dengan rasa gatal yang bersemayam. Dalam hati mengeluh sambil kecewa, belum hujan juga hingga hari ini.

Ada yang mau melanjutkan  ceritanya?

"Kok nggak bilang kalau ke sini?"
Seketika saya menahan napas. Mata saya memelotot begitu mendengar suara seseorang. Suara itu... Itu suaramu. Suara yang terdengar amat dekat, seperti tepat di belakang saya. Saya tidak berani menoleh. Saya tidak sanggup... Saya bahkan memejamkan mata seraya berharap bahwa ini halusinasi saja.
"Masih kepikiran?"
Saya masih bungkam.
"Memangnya seseram itu wajah saya sampai kamu merem gitu? Saya tersinggung lho."
Ya Tuhan, dia benar-benar nyata, batin saya. Tak ada pilihan lain selain membuka mata dan bersikap biasa saja, meski jantung ini berdegup huru-hara. Norak memang.

Hayooo, lanjutannya apa?

"Saya kan sudah bilang, jangan dipikirkan."
Saya membantah, "Tapi..."
"Sebaik apa pun seseorang, tetap ada yang tidak suka. Setiap orang punya prinsip, selera, pola pikir, pola perilaku, dan sebagainya yang berbeda," kamu melanjutkan argumen.
Kenapa dia bisa tahu kalau saya sedang memikirkan itu sambil menunggu hujan.
"Nggak ada yang benar-benar sama. Coba bayangkan kalau semuanya sama. Nggak berwarna. Nggak ada variasinya. Monoton."
Lagi-lagi ucapanmu benar.
"Kamu tahu itu, kan?"
Saya mengangguk.

Lanjutannya apa ya?

"Hidup ini bukan hanya tentang kamu dan atau saya. Tapi semuanya. Allah. Semesta. Orangtua. Saudara. Sahabat. Teman."
Saya suka kamu yang selalu mengingatkan tanpa menghakimi.
"Kalau curhat ke siapa pun, jangan mau menang sendiri. Setidaknya kasih feedback. Kamu curhat, terus balik tanya, kamu sendiri gimana kabarnya? Ada yang mau diceritain? Cerita aja. Masa aku terus yang cerita? Aku juga pengin dengar ceritamu. Pengin tahu gimana kehidupanmu. Gitu, Ink. Jangan mau didengarkan terus, tapi maulah untuk mendengarkan."
Bagaimana? Sudah merasa tertohok?

Menohok.
Dan sejak hari itu, saya berupaya menanyakan kabar. Meski tidak ke semua teman. Dari film AADC dan beberapa novel yang saya baca itulah yang menyadarkan saya bahwa mendengar cerita orang lain juga perlu. Bukan untuk menghakimi, tapi untuk menyemangati. Bukan untuk menyebarluaskan lalu mencemooh dan menertawakan di belakang, tapi untuk mendukung, barangkali dia sudah terlalu lelah menyimpannya sendiri. Bahwa sesuatu yang terlalu banyak disimpan sendiri dan membebani diri, lama-lama juga akan meledak. Dan jika ledakan itu negatif, nyawa pun terancam.
Apakah Anda juga berpikir sejauh itu? Tentang nyawa seseorang. Seseorang yang dekat dengan Anda. Bukan hanya tentang nyawa Anda.

Yuk, peduli pada sesama. Jangan mudah memberikan stempel/cap pada orang lain saat mereka baru sekali-dua kali lalai. Jangan mudah menghakimi. Jangan mudah iri dengki. Tapi terus mendukung. Terus menyemangati. Percaya bahwa semua usaha akan membuahkan hasil, meski mungkin kita tak ikut menikmati kesuksesan orang lain yang dulunya selalu meminta pendapat kita. Selalu lah ingat bahwa Allah tidak tidur. Dia berkehendak untuk segalanya. Dan tidak ada yang pernah benar-benar sendiri, sebab Allah selalu mendampingi. Selamat malam😊
Kalau mau komen, silakan. Saya lebih senang dapat komen daripada didiemin. Apalagi kalau komennya membangun💜

O ya, seperti ketika orang terdekat Anda yang berpembawaan ceria, banyak dan sering bercerita, lalu mendadak murung, sedikit bicara, atau bahkan tidak mengucap satu kata pun. Apakah Anda tidak curiga? Apakah tidak tergerak untuk bertanya?
Kalau jawabnya tidak, wah, sayang sekali. Padahal bukan cuma Anda yang butuh dia, tapi sebaliknya juga: dia butuh Anda😊


Sidoarjo, 4/11/18

Tertanda
Yang mencoba memahami dan memaknai hidup plus terima nasib, tapi tetap berusaha dan berserah diri.

Minggu, 15 Juli 2018

AKU MAU MATI! – SERIUS? MEMANGNYA KAMU SIAP?


“Aku tidak berharga!”
(Oh ayolah, kalau kamu tidak berharga, orangtuamu takkan membesarkanmu sampai sekarang, kan? Bagaimana? Masih mau mati dan merasa tidak berharga?)

“Masih! Semua yang kulakukan selalu salah!”
(Namanya juga proses. Kalau tidak ada salah dan gagal, nggak ada orang sukses, kan? Trial and error!)

“Aku tidak bisa berbuat apa-apa!”
(Masa sih? Tidak bisa bernapas? Makan? Minum? Bicara? Menulis? Bisa, kan?)

“Kalau itu, semua orang ya pasti bisa! Maksudku, berbuat terhadap sesuatu! Terus aja nggak becus dan aku nggak pantas hidup!”
(Oh, terhadap sesuatu. Kamu bisa berjalan, bahkan berlari, kan? Itu sesuatu lho. Karena nggak semua orang bisa melakukan itu. Kamu beruntung. Sadar tidak, di luar sana, ada yang mendambakan hidup sepertimu. Jadi, kamu pantas hidup dengan sebagaimanapun keadaanmu.)

“Bullshit! Aku mau mati! Bahkan saat aku mati pun, aku nggak yakin bakal ada yang nangisin aku karena merasa kehilangan! Nggak ada yang peduli sama aku!”
(Bukan bullshit, saya hanya bicara fakta. Kamu bisa melihat ke bawah—ke orang lain yang kurang beruntung—atau ke atas, orang-orang yang lebih darimu. Mungkin kamu terlalu sering mendongak, dan lupa menunduk. Saat menatap lurus pun, orangtuamu—jika masih ada—pasti akan menjadi orang pertama yang menangis atau berusaha tidak menangis saat kamu memilih mengakhiri hidupmu, tergeletak tak berdaya. Mereka mendambakanmu, sampai akhirnya Ibumu mengandungmu, dan mereka membesarkanmu sampai sekarang. Bahkan tidak sekadar membesarkanmu, tapi juga mendidikmu dan hal-hal beruntung yang kamu dapatkan sampai sekarang. Lagi-lagi, sementara di luar sana tidak sedikit pula yang tak sempat memilikimu seperti kedua orangtuamu. Masih mau mati?)

“Masih!”
COME ON! ISTIGFAR! MATI TIDAK SESEDERHANA ITU, KAWAN!
Bukan hanya kamu kok yang serbasalah, tapi saya juga. Menyedihkan dan memprihatinkan memang acapkali ketika melakukan sesuatu tetapi selalu salah, padahal sudah berusaha sebaik mungkin. Tak becus dan rasanya hanya ingin mati! Mati adalah jalan terbaik mengakhiri segala penderitaan.

Apa kamu yakin akan bunuh diri? Bukankah yang namanya manusia memang tak luput dari salah? Justru  dari kesalahan-kesalahan itulah seseorang akan mengerti artinya berjuang. Lantas, apa kamu yakin, penderitaanmu akan usai ketika kamu mati?

“Tapi aku nggak pernah benar! Nggak sekalipun!”
“Apalagi di mata orangtua! Aku ini anaknya tapi kok nggak pernah cocok??? Sebenarnya aku ini anaknya siapa??? Tetangga???”
Tenang, jangan nge-gas gitu dong. Saya juga sama sepertimu sampai detik ini, di usia yang sudah puluhan, tapi bisa dihitung jari kebenaran yang saya perbuat di depan mata mereka. Dan itu pun hanya dari hal-hal kecil dan sangat sepele. Yang kecil saja kadang bahkan seringnya masih salah, apalagi yang besar? Segalanya berproses, kan?

“Nah makanya itu! Aku pengin mati! Aku mau mati! Dengan mati, penderitaanku selesai!”
Yakin, mau mati? Kita masih bisa bicarakan semuanya baik-baik. Tidak perlu ada pertumpahan darah selagi menggunakan asas kekeluargaan. Kalaupun keluargamu tak mau atau tak bisa diajak bicara baik-baik mengenai masalahmu, kamu bisa bercerita ke orang terdekat dari keluargamu, yang bisa kamu mintai tolong untuk menyampaikan pada keluargamu.

“Nggak ada! Jadi benar, kan, kalau aku memilih mati?”
Agama mana yang menghalalkan mati? Kalau kamu tak punya orang terdekat dari keluarga yang bisa dimintai tolong, bisa lewat orang terdekat yang lain, entah itu tetangga atau mama atau papanya temanmu. Kamu pasti punya teman, kan?

“Nggak punya. Mereka musiman. Dan aku juga sudah menarik diri dari pergaulan.”
Kamu pasti punya teman dekat, saya tanya teman dekat dan yang saya bicarakan ini bukan pacar ya. Bukan teman dekat yang itu. Tapi kalau kamu punya, bisa juga cerita ke dia, tapi, ya, risiko bercerita ke orang selain dirimu sendiri adalah cerita itu bisa bocor. Kamu tahu itu, kan? Dan sebisa mungkin, jangan menarik diri dari pergaulan, bisa tak tertolong. Manusia adalah makhluk sosial. Tidak ada manusia yang benar-benar bisa hidup sendiri. Manusia perlu Tuhan, orang lain, tumbuhan, air, cahaya, dan sebagainya. Tanpa Tuhan saja, kamu tak mungkin ada di sini. Begitu pun kalau tanpa sumber daya alam dari Tuhan.

“Kamu banyak omong! Sok bijak! Memangnya kamu siapa???”
Bukan siapa-siapa. Hanya saja, saya juga berada di posisi yang sama denganmu. Saya bahkan sudah memikirkan ingin mati sejak saya SD. Sejak teman-teman dekat mengkhianati saya dan sampai hari ini masalah itu belum terlupakan. Iya, saya pendendam, tapi tak melakukan apa-apa untuk balas dendam, selain berusaha legowo, dan membersihkan nama saya yang tercemar sejak masalah itu timbul. Seingat saya, tak ada satu pun teman sekelas yang memercayai saya waktu itu. Saya tidak tahu motif apa yang dilakukan oleh teman dekat, eh, bahkan saya menganggapnya sahabat karena sejak kelas satu SD kami selalu menghabiskan waktu bersama.

Namun, kalau tak salah ingat, sewaktu kelas empat sampai kelas enam, segalanya berubah. Persahabatan menjadi permusuhan hanya karena masalah sepele: cowok, yang bahkan cowok itu adalah hak saya! Kenapa saya bilang kalau cowok itu hak saya? Karena dia teman baru saya di luar lingkungan saya selama ini! Dan mantan sahabat saya itu “merenggut” semuanya. Saya tidak tahu apa motifnya. Padahal saya hanya minta tolong dengan meminjam ponselnya untuk memperingatkan agar teman saya, si cowok itu, tidak sering menghubungi saya karena Ayah, terutama Ibu paling risi dan benci kalau melihat saya main ponsel atau mendengar ponsel saya berbunyi :’( bahkan sampai hari ini dan berlaku juga untuk adik saya—tidak suka melihat keluarganya sibuk dengan ponsel. Lantas, apa yang teman saya perbuat? Dia berbuat “curang” di belakang saya bersama teman-teman saya yang lain. Iya, di belakang saya!

Kemudian masalah bertambah runyam karenanya. Ya, “dimusuhi” teman sekelas dan teman baru yang juga dalam jumlah banyak, yang tinggalnya tidak sedesa alias beda kecamatan! What do you feel? What do you think? Makanya, saya bersyukur karena masih bisa mengendalikan diri dan masih hidup sampai detik ini.
Tentu, saya yang menjadi kambing hitam dan saya akui, saya bodoh sekali karena meminta tolong pada sahabat yang saya pikir, dia takkan pernah berkhianat, tapi ternyata bangs*t. Istigfar.

Ditambah lagi dengan permainannya yang lain, mendirikan geng di sekolah dan saya sebagai sahabatnya, harus melakukan sesuatu jika ingin bergabung dengan gengnya. Bayangkan, sahabat karib masih harus melakukan sesuatu untuk bergabung dengannya! Jadi, hubungan pertemanan kita selama ini kamu anggap apa??? Oke, anggap saja baper. Eh tapi zaman dulu belum ada kata baper ya. Sejak saat itu, saya secara tak sadar, mulai tak semudah itu untuk percaya pada orang lain dan baru saya sadari sepenuhnya sekarang. Dia, satu-satunya yang saya andalkan justru membuat saya terjerembap dan kehilangan pegangan sehingga saya ingin mati.

Bayangkan saja sendiri, anak SD sudah "berpolitik" seperti itu. Oh atau kisahmu semasa SD lebih sadis daripada kisah saya? Saya terus berharap takkan pernah menjumpai mereka lagi di kehidupan saya, tapi Tuhan berkehendak lain. Di tempat yang sekarang, kuliah, masih menjumpai mereka. Selalu ada saja salah satu dari mereka yang tergabung dalam tempat yang saya singgahi. Mengherankan. Mungkin ini salah satu cara Tuhan agar saya mau berdamai, tapi saya yang pendendam ini masih tidak ikhlas... Masih berat... Bahkan untuk sekadar lupa, masih sempat teringat hanya dengan menyebut atau membaca atau menjumpai mereka di media sosial, masalah masa lalu terangkat kembali dan mau murka :’( Iya, saya semenyedihkan dan sependendam itu. Tapi saya tidak berniat membunuh mereka kok. Hanya berkeinginan membunuh diri sendiri, tapi tidak berani sampai sekarang, sebab masih ingat dosa dan “utang-utang” yang belum dibayar.

“Aku mau mati! Aku capek menderita kayak gini!”
Ah, kamu ini, kenapa masih bersikukuh ingin mati? Memangnya kamu yakin tidak akan menderita setelah mati? Bagaimana kalau justru penderitaan di alam sana tak ada hentinya dan jauh lebih berat daripada saat kamu di dunia? Bukankah di Al quran juga sudah tercantum mengenai kuasa-Nya? Lantas, masihkah kamu ingin mati? Bagaimana kalau kamu bercerita kepada Tuhan saja? Atau menulisnya? Sebagai arsip yang bisa kamu kenang dan banggakan suatu saat nanti karena kamu bisa melewati masa-masa kelammu serta sarana terapi yang mudah. Atau datang ke psikiater untuk memeriksakan kesehatan mentalmu? Saya ingin melakukan itu, tapi... Tak ada anggaran. Mungkin, kamu mau menganggarkan dana untuk memeriksakan saya? Wkwk. Semoga kamu tidak bersikeras ingin mati, ya. Semangat! Selalu berdoalah kepada Tuhan. Dia selalu mendengarkan doa-doa hamba-Nya dan menjawabnya dengan tiga macam. Semangattt!!!

15/07/2018 20.40
Ttd,
Yang berusaha untuk terus hidup meski baru patah hati lagi kemarin (bukan karena cinta pada lawan jenis)

Jumat, 20 April 2018

Mimpimu Ketinggian? Jangan Gentar!

A: “Gue pengin jadi penulis novel best seller! Dan semua novel gue difilmin!”
B: “Hahaha. Pengin jadi penulis? Emang lo bisa nulis? Best seller? Gue nggak yakin tulisan lo bakal sebagus. Itu pun kalo beneran lo bisa nulis. Mimpi lo ketinggian! Ngaca deh.”
C: “Aku pengin jadi dokter. Pengin bisa angkat perekonomian keluarga.”
D: “Hahaha. Nggak punya modal aja belagu! Inget, orangtuamu itu siapa dan seberapa kemampuannya! Nggak usah muluk!”
E: “Aku pengin menetap di luar negeri.”
F: “Hahaha. Muluk banget kepenginan lo! Ngaca, Bro, kemampuan lo seberapa. Kuliah aja dibiayain sama beasiswa.”
Rrr... Rasanya pengin teriakin mereka balik nggak sih? Gampang banget patahin semangat orang dan mutusin buat nggak mimpi jangka panjang....
Jleb nggak sih kalau kita bercerita tentang mimpi dan cita-cita kepada mereka atau mereka bertanya dan kita menjawab penuh semangat, tapi malah dijatuhin kayak gitu? Sedih, nggak? Kecewa, nggak? Sakit hati nggak? Pengin ngelempar mereka pakai barang berat, nggak? Pengen tenggelamin mereka, nggak?
Memangnya sejak kapan ada yang salah dengan mimpi dan cita-cita? Bukankah ada nasihat lama yang mengatakan bahwa harus menuntut ilmu sampai ke negeri Cina, bercita-citalah setinggi langit, jangan menyerah untuk menggapai mimpi, tidak ada yang mustahil di dunia ini, dan masih banyak lagi.
Heran juga kenapa orang-orang dengan mudahnya mematahkan semangat untuk berandai-andai sambil berjuang mewujudkan, sementara masih ada hal positif yang mereka lakukan. Hanya dengan kata, “Semangat, ya!” atau “Pasti bisa!” atau “Pokoknya harus yakin! Pasti ada jalan!” atau bisa juga, “Nggak ada yang mustahil selagi mau perjuangin!” bisa dengan mengutip dari al quran, “Berdoalah kepadaKu, niscaya akan Kukabulkan.” Lebih berfaedah dan enak didengar, kan?
Kalaupun tak suka atau iri dengan mimpi dan cita-cita orang lain karena terlalu tinggi dan melebihi cita-cita mereka, bisa juga tetap melontarkan kalimat positif, kan? Toh mereka juga bisa memperbaiki lagi mimpi dan cita-cita mereka setelah mendengar kepunyaan orang lain. Bukankah ucapan dari seseorang juga berpengaruh dalam kehidupan? Bisa membuat seseorang mengidolakannya, termotivasi untuk melakukan hal yang sama atau bahkan lebih, terwujudnya mimpi dan cita-cita yang bisa jadi sering dijawab, “Emang bisa?” atau “Yakin bisa?” atau “Jangan belagu,” atau “Jangan muluk-muluk,” atau “Bisa makan tiga kali sehari aja udah syukur banget.”
Banyak, kan, orang-orang dari perekonomian di bawah rata-rata tapi bisa sukses. Berarti bukan mustahil, kan, bermimpi dan bercita-cita setinggi langit sekalipun lingkungan sekitar kurang mendukung. Bukan tidak mungkin, kan, Tuhan membantu mewujudkan. Siapa yang tahu kalau mimpi dan cita-cita jangka panjangmu itu terwujud begitu cepat setelah berproses. Siapa juga yang tahu kalau Tuhan justru memberikan sesuatu yang lebih dibutuhkan di atas segala keinginan dan cita-cita. Tak jarang juga baru terwujud setelah sekian lama, sebab Tuhan ingin melihat usahamu lebih keras atau putus di tengah jalan karena kalah dengan godaan.
Jangan gentar. Jangan menyerah. Tak ada yang mustahil di dunia ini. Tak ada yang lebih baik dibandingkan berniat, berusaha, berdoa, dan menyerahkan segalanya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan tahu kok, kapan akan menjawab mimpi dan cita-cita kalian. Saya percaya itu, sebab telah merasakannya sendiri keajaiban dari proses yang saya lakukan untuk mewujudkan keinginan.
Proses memang tak selalu mudah. Proses tak selalu membuahkan hasil yang gemilang. Proses tak selalu nikmat untuk dirasakan. Proses tak selalu semakin menyemangati untuk mencapai apa yang ingin diraih. Tak jarang juga proses membuat kita merasa lelah karena tak mudah dan ingin menyerah karena banyak sekali halangan dan rintangan yang harus dihadapi. Jangan menyerah!
Saya memang belum bisa memberikan bukti hasil atau buah kesuksesan yang spektakuler dari diri sendiri mengenai edisi kiriman ini. Tapi, saya juga sedang berproses seperti kalian. Saya akan bercerita sedikit. Saya sangat suka menulis sejak SD. Menulis diari dan semacam puisi cukup banyak—setelah membaca buku-buku puisi di perpustakaan, yang sayangnya saya lupa judul dan pengarangnya—waktu itu. Selama SMP, saya lebih fokus menulis semacam puisi itu dengan membaca buku-buku puisi di perpustakaan juga karena saya bukan dari keluarga yang “berada”. Bahkan sangat bersemangat memposting hasil tulisan ke facebook sembari berharap mendapat komentar dari teman-teman. Mereka berkomentar dan saya senang. Lalu mengalami perkembangan lagi, dikemas dalam format jpg dengan foto saya sebagai latar belakang >.< ((narsis banget >.< mau dihapus tapi sayang :’)))
Saya berusaha menulis di tengah lingkungan yang orang-orangnya tidak gemar menulis maupun membaca. Nah, bukan perjuangan yang mudah, kan? Apalagi tidak banyak juga yang mendukung dan menyemangati. Bisa dihitung jari! Bahkan kedua orangtua saja juga tidak selaras dengan keinginan saya~ dudu~ ((bahkan sampai hari ini >.< perang banget nggak sih :’) dudu :’) eh tapi saya sudah minta doa restu mulai tahun ini! Biar cepat ketemu jodoh gitu ceritanya (jodoh untuk naskah, bukan buat sayanya. Tapi buat saya juga sih aamiin :)))
Entah sejak akhir kelas satu SMA atau kelas dua SMA—lupa tepatnya kapan—saya mulai menulis dalam versi yang lebih panjang serupa cerpen dan novel. Entah pemicunya mana dulu antara novel Shine On Me karangan Shandy Tan atau tugas Bahasa Indonesia untuk menulis cerpen. Kepada teman yang meminjamkan novel Shine On Me dan guru Bahasa Indonesia serta kurikulum 2013, terima kasih banyak! Sejak saat itu saya rajin menulis dan mengikuti lomba penulisan cerpen maupun puisi yang tersebar di facebook. Beberapa tulisan saya terpilih sebagai kontributor dan sungguh senang sekali! Saya jadi punya buku fisik—setelah terobsesi dan berambisi sekali ingin bisa mempunyai buku yang diterbitkan sehingga bisa dibawa ke mana-mana dan dikoleksi. Walaupun saya juga kurang teliti sewaktu membaca syarat dan ketentuan lomba sehingga merasa lebih banyak dirugikan ketimbang diuntungkan:’) Tidak sedikit juga yang diloloskan tapi tidak berkabar lagi :’) ((Oh naskah sayaaa :) Kembalilah, Sayang :’))) Jadi, kalian harus teliti ketika membaca dan melakukan apa pun, ya! ((Jangan seperti saya))
Sampai di sini, saya senang sekali karena bisa konsisten menulis dan “memerangi” lingkungan saya. Jadi, jangan menyerah, ya! Nanti kalau mimpi dan cita-cita saya ada yang terwujud lagi, akan saya ceritakan lagi ;-) Semangat berjuang!!! ((Sengaja ditulis semangat berjuang karena selamat berjuang sudah biasa :D siapa tahu kalau kata “semangat” bisa membulatkan tekad dan lebih bersikeras memperjuangkan yang ingin didapatkan. Semangat!!!))

Jumat, 09 Februari 2018

Seminar Motivasi Menulis: Literasi Di Era Digital 2018



Halo, Teman-teman! Bulan Februari sudah punya agenda belum? Kalau belum, menimba ilmu bareng-bareng, yuk, di acara... SEMINAR MOTIVASI MENULIS: LITERASI DI ERA DIGITAL


Hari/tanggal : Ahad, 18 Februari 2018
Tempat : Aula Kementrian Agama Sidoarjo (Jl. Monginsidi No 3 Sidoarjo)

Pembicara :
1. Sinta Yudisia, S.Psi., M.Psi.
Psikolog, Penulis Buku, Dewan Pertimbangan Forum Lingkar Pena (FLP)
2. Arul Chandrana
Guru, Penulis Buku, Youtuber

HTM : 15k

Fasilitas :
1. Snack
2. Door prize
3. Sertifikat

Pendaftaran :
Nama_asal sekolah/universitas_no WA

kirim SMS/WA ke :
1. Alfimanzila 089518342736
2. Ramadhan Rahma 085853043299

Uang pendaftaran bisa ditransfer ke
BRI Syariah 1028624979 a.n. Rohmah Barokah

Seminar ini tidak hanya khusus daerah Sidoarjo, lho! Kalian yang tinggal di Surabaya dan sekitarnya juga bisa ikutan, lho!

Oh ya, ada acara Open Recruitment untuk FLP Sidoarjo juga, lhooo ;)) Nah, yang ini khusus untuk warga Sidoarjo saja, ya :)) Di kota lain juga ada FLP kok :))

FLP itu apa sih? Forum Lingkar Pena. Organisasi kepenulisan yang bertujuan untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat melalui tulisan. Gimana tuh maksudnya? Yuk, cari tahu dengan cara mengikuti seminar ini! See you, Guys! ;))

Sebagian 2025

Awal tahun 2025 menjadi pembuka untuk memulai pelajaran baru, dalam rangka menambah kemampuan. Kali ini dimulai dengan mengikuti workshop pe...